Banjarbaru – Dalam perkembangan terbaru di dunia akademik, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, mengambil keputusan mengejutkan dengan meminta agar gelar akademiknya tidak dicantumkan di berbagai dokumen resmi kampus. Keputusan ini bertujuan menekankan esensi ilmu pengetahuan dan kontribusi nyata dalam pendidikan, daripada sekadar mengejar pengakuan formal dari titel akademik yang dimiliki.
Langkah ini mencerminkan perubahan besar dalam pandangan terhadap gelar akademik, yang sering dianggap sebagai simbol status dan prestise. Dengan mengesampingkan gelar, Prof. Fathul Wahid berusaha menghilangkan potensi ketidaksetaraan di lingkungan akademik, mendorong agar setiap individu dinilai berdasarkan kontribusi dan kualitas karya mereka. Hal ini tentunya mempromosikan nilai-nilai kesetaraan di mana semua anggota komunitas akademik dihargai atas prestasi dan kemampuan mereka, bukan semata-mata karena gelar yang dimiliki.
Kejadian ini dikaitkab dengan paradigma kesetaraan atau egalitarianisme dalam dunia akademik. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan diakui berdasarkan kemampuan dan usaha mereka. Dalam konteks akademik, ini berarti fokus utama harus diberikan pada inovasi, penelitian, dan pengajaran yang berkualitas, daripada sekadar pengakuan formal melalui gelar. Hal ini sebagaimana yang dilansir dalam artikel terbitan Tempo yang menyebutkan bahwa yang melatar belakangi keputusannya ialah untuk menguatkan atmosfir dalam menjaga semangat kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi. Ia tak ingin jabatan profesor justru menambah jarak sosial. Menurut dia, kampus harus menjadi salah satu tempat paling demokratis. “Jabatan profesor memang sebuah capaian akademik, tetapi yang melekat di sana lebih banyak tanggung jawab publik,” ujarnya.(Tempo)
Keputusan tersebut juga mengarah pada penciptaan budaya akademik yang lebih inklusif dan kolaboratif. Dengan mengurangi potensi perbedaan status dari penggunaan gelar, lingkungan kampus bisa menjadi tempat di mana ide dan inovasi dihargai tanpa penghalang hierarki yang kaku. Ini memungkinkan setiap anggota komunitas akademik merasa lebih terlibat dan dihargai atas kontribusinya.
Keputusan Prof. Fathul Wahid bisa menjadi contoh bagi institusi lain dalam mempromosikan nilai-nilai kesetaraan dan inklusivitas. Ini bukan hanya tentang menanggalkan gelar, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menilai dan menghargai kontribusi setiap individu secara lebih adil dan merata. Dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa membantu menciptakan lingkungan akademik yang lebih harmonis, produktif, dan berfokus pada pencapaian tujuan bersama dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Dengan langkah berani ini, Prof. Fathul Wahid membuka jalan bagi perubahan positif di dunia akademik. Semoga lebih banyak institusi yang terinspirasi untuk mengikuti jejak ini, memajukan pendidikan yang berfokus pada substansi dan kontribusi nyata, bukan sekadar gelar dan status.
Editor: Gusriawan S Wahid