Manusia sebagai Mandataris Tuhan

Di tengah euforia perayaan Iduladha, saat takbir bergema dan aroma daging kurban menguar dari setiap sudut negeri, dan di tengah tepuk riuh kemenangan tim nasional melawan Cina yang kembali menghidupkan harapan di dada jutaan rakyat, ada luka yang menganga pelan-pelan dari timur Indonesia. Sebuah luka sunyi, yang mungkin tak terdengar di stadion, tak tertangkap kamera, dan tak dibacakan dalam khutbah-khutbah Iduladha. Tapi luka itu nyata. Ia bernama Raja Ampat.

Wilayah yang selama ini kita kenal sebagai surga bawah laut, rumah bagi ribuan spesies karang dan ikan, kini perlahan-lahan berada di tepi jurang. Bukan karena bencana alam, bukan karena kemiskinan, tetapi karena sebuah ironi, bahwa tangan manusia yang diberi kuasa untuk menjaga, justru mengoyaknya. Operasi tambang nikel yang berlangsung di Pulau Gag telah mengguncang ekosistem, menggusur rasa aman warga adat, dan mencemaskan masa depan generasi yang lahir dari rahim laut dan hutan.

Khalifah bukanlah Raja

Dalam Islam, manusia tidak diposisikan sebagai penguasa absolut atas bumi, melainkan sebagai khalifah, pemegang mandat Ilahi untuk merawat dan menjaga ciptaan Tuhan. Allah berfirman:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS. Al-Baqarah: 30)

Makna khalifah di sini bukanlah “raja” yang bebas berbuat semaunya, melainkan penjaga titipan—mereka yang diberi kuasa, tapi juga dibatasi oleh amanah. Dalam ayat ini, ada isyarat bahwa keberadaan manusia di bumi bukanlah untuk mengeksploitasi, melainkan untuk menata, menjaga, dan menebar maslahat.

Namun dalam kasus Raja Ampat, peran ini tampaknya telah dibelokkan. Manusia—atas nama investasi dan pembangunan—telah menyulap hutan menjadi koridor industri, dan lautan menjadi halaman belakang tambang. Mereka yang diberi mandat menjaga, justru menjadi aktor utama dalam kerusakan itu.

Baca Juga  Kisah Nabi Ibrahim Dan Tamu Majusi

Allah SWT kembali mengingatkan dalam ayat lain:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini adalah cermin tajam terhadap kenyataan hari ini. Kerusakan ekologis di Raja Ampat bukanlah musibah tak terelakkan. Itu ulah manusia sendiri—dari ketamakan, dari kebijakan yang menutup mata, dari sistem yang tak lagi mengenal batas moral terhadap alam. Kita tak hanya kehilangan ikan atau terumbu karang; kita kehilangan tali ruhani antara manusia dan semesta.

Sebagai mandataris Tuhan, kita bukan hanya diminta untuk mencintai ciptaan-Nya, tetapi juga memperjuangkan kelestariannya. Ketika tambang mencabik bumi, diam adalah pengingkaran atas tugas kekhalifahan. Ketika masyarakat adat menjerit, membisu adalah bentuk kezaliman. Ketika laut kehilangan warnanya, sikap abai dan ketidak pedulian adalah wujud pengkhianatan.

Saatnya Kembali Menjadi Penjaga, Bukan Perusak

Krisis ekologis di Raja Ampat bukan sekadar soal tambang, tanah, atau terumbu karang yang rusak. Ini adalah cermin retak peradaban, menampakkan betapa jauh manusia telah berbelok dari fitrah dan amanahnya.

Menjaga alam bukanlah pilihan tambahan, tetapi bagian dari ibadah kita sebagai hamba. Karena bumi ini bukan milik kita, ia milik generasi setelah kita, dan lebih dari itu, ia adalah bagian dari ciptaan Allah yang memiliki hak untuk hidup, untuk lestari, dan untuk terus memancarkan keindahannya.

Allah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan:

“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan timbangan (keadilan), supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 7–8)

Ayat ini menegaskan bahwa menjaga keseimbangan adalah bentuk ketaatan, dan merusaknya adalah bentuk pengingkaran. Maka, membiarkan tanah adat digusur, laut tercemar, dan masyarakat lokal kehilangan identitasnya demi tambang adalah bentuk pengkhianatan terhadap perintah tersebut.

Baca Juga  Kilau Moderasi di Paramasan Part 1: Kabar Gembira Penuh Rahmat

Kini saatnya kembali menjadi penjaga, bukan perusak. Kita tak bisa membiarkan alam membela dirinya sendiri. Ia butuh suara kita, tindakan kita, dan keberanian kita. Karena menjadi manusia bukan hanya soal hidup di bumi, tapi juga soal bagaimana kita mempertanggungjawabkan bumi ini di hadapan-Nya. #SAVERAJAAMPAT