Oleh: Sayyid Salim A Vad’aq
Berbicara tentang Islam, liturgi peribadatan Islam sedikit banyak tidak bisa lepas dari bahasa maupun budaya Arab. Minimal, kita bisa jumpai saat umat membaca doa salat dan merapal wirid setelah salat. Atau, ketika umat memakai gamis untuk mengikuti sunnah Nabi.
“Andaikata nabi orang Jawa, pasti nabi akan memakai batik dan blangkon”, begitulah tamsil sebagian pengkhotbah Islam bergaya nusantara saat ini
“Kalau jadi orang Islam, jangan jadi orang Arab! Jadilah orang Islam yang sesuai dengan budaya Nusantara” Penggalan orasi bung Karno ini menjadi dalil pembenar sebagian muslim untuk menggaung Islam Nusantara. Sebenarnya saya suka, artinya Islam Indonesia mencoba membentuk identitasnya sendiri. Hanya saja, justru penggalan ini menjadi salah kaprah apabila ditafsirkan serampangan.
Tentu yang memahami penggalan ucapan bung Karno diatas adalah bung Karno sendiri. Namun, anehnya pemaknaannya sekarang telah dimonopoli oleh sebagian kelompok yang mengakui dirinya “paling nasionalis, paling moderat, dan paling nusantara”. Kelompok ini rada-radanya alergi saat umat mengadopsi sebagian kultur Arab seperti berpakaian gamis, berjenggot, dan bersurban di kepala. Bahkan, reaksi alergi juga muncul saat sebagian umat menggunakan terminologi Arab seperti ana, antum, ikhwan, akhwat, dll. Namun, untuk kata fulus sepertinya tidak karena siapa sih yang tidak suka fulus?
Termasuk para habib yang sering memakai kostum Arab dan fasih berlogat Arab tatkala membaca dalil seperti Hadits dan Quran, seolah telah dicap pada dahinya dengan stempel “imigran Yaman”.
Bila ada slogan “Saatnya kembali pada Quran dan Sunnah” ditengah kalangan Islam puritan, maka ditengah Islam Nusantara “Saatnya kembali pada Kyai Nusantara yang adiluhung”. Ini bahaya! Menjadikan umat terdikotomis.
Mengapa saya katakan bahaya? Kehadiran Islam adalah untuk membasmi kebiasaaan bangsa Arab jahiliah yaitu glorifikasi atas identitas primordial. Misal “suku saya adalah lebih utama daripada sukumu”. Tidak! Bahkan nabi jelas mempertegas tidak ada keutamaan bangsa Arab ketimbang bangsa Ajam (bangsa non Arab). Ini dipertegas kembali apabila kita membaca statement Islam melalui Firman Allah di QS. Al-Hujurat:13 bahwa kita semua liberte (bebas), egalite (setara), dan fraternite (bersaudara).
Artinya? Konsekuensi yang harus ditanggung saat glorifikasi over atas identitas keislaman berdasakan kebangsaaan adalah meruntuhkan semangat Islam yang ingin dibangun oleh agama yaitu bersatu dalam semangat Iman.
Saya pribadi memang senang tatkala ekspresi Islam kita adalah dengan kultur kita sendiri. Saya pribadi lebih sering menggunakan istilah sembahyang, Gusti Pangeran atau Gusti Allah alih alih dengan istilah sholat, Allah.
Di lain pihak, kita juga tidak fair bahkan saya bisa katakan sepertinya kita agak sentimen terhadap Arab. Mengapa demikian? Bahasa Jaksel yang sering menjadi bahan candaan netizen +62 bahkan sering mencampuradukkan tata bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris seperti I, You, literally, hopefully, dsb. Malah yang parah, ada sebagian orang tua berkomunikasi dengan anaknya tidak dalam bahasa Indonesia, sehingga sang anak tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik di masyarakat. Belum lagi, kegandrungan generasi milenial dan Z bahkan mulai merambah ke generasi Alfa dalam segi mode fashion ala Korea dan Barat.
Pertanyaannya, kalau kita memang anti kearab-araban karena berpotensi mengganggu cara hidup kita sebagai orang nusantara, lantas apa kabar yang terang-terang merusak tata bahasa Indonesia yang baik dan benar? Malah, juga lebih parah dengan mengganti pandangan dan gaya hidup ketimuran dengan kebarat-baratan.
Sepertinya kita perlu merumuskan kembali sikap moderasi kita dalam bersikap atas keber-agamaan kita. Maksud saya, sejauh mana pemahaman kita terhadap Islam Nusantara? Sudahkah dengan benar kita merumuskan Islam Nusantara? Atau jangan-jangan, kita terjebak pada pemahaman yang keliru? Kalau kita terlalu over mengglorifikasi cara hidup Islam Indonesia daripada Islam Arab dan merendahkan cara berislam mereka, apa bedanya kita dengan paham chauvinisme ala Nazi?
Kelakar saya kepada teman-teman saya “Wali songo sang penyebar Islam di tanah Jawa kan semuanya berkostum Arab kecuali Sunan Kalijaga. Kok saya tidak menemui cap yang sama kepada mereka ya sebagai Imigran Arab?”