Momentum Idul Adha selalu disambut dengan penuh sukacita oleh umat Muslim di seluruh dunia. Pada hari besar ini, mereka bersama-sama melaksanakan ibadah qurban dengan menyembelih hewan seperti sapi atau kambing. Daging hasil qurban tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat. Di Indonesia, prosesi penyembelihan ini bukan hanya dilihat sebagai ibadah semata, tetapi juga sebagai kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi dan memperlihatkan semangat gotong royong. Masyarakat terlibat aktif dalam seluruh proses, mulai dari penyembelihan hingga pembagian daging qurban.
Secara umumnya, penerima daging qurban adalah umat Muslim. Namun, di negara dengan masyarakat yang beragam seperti Indonesia, timbul pertanyaan apakah daging qurban, yang merupakan bagian dari ibadah Idul Adha, juga boleh diberikan kepada non-Muslim?.
Berbeda dengan zakat yang aturannya sudah jelas mengenai siapa saja yang berhak menerima, pembagian daging qurban tidak diterangkan secara nash yang demikian itu. Para ulama sepakat bahwa daging qurban bisa dibagikan kepada tiga kelompok utama: fakir miskin yang membutuhkan bantuan, tetangga di sekitar kita, dan keluarga atau diri sendiri yang berkurban. Hal ini sejalan dengan pernyataan dalam Al-Qur’an, “…Maka makanlah sebagian daripadanya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj, 22:28).
Dalam kajian literatur fiqh, para ulama sepakat bahwa daging qurban sebaiknya diberikan kepada sesama Muslim. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai pembagian daging qurban kepada non-Muslim. Ibnul Munzir, sebagaimana dikutip oleh Al-Imam An-Nawawi, menyatakan bahwa umat Islam sepakat mengenai kebolehan memberikan daging qurban kepada sesama Muslim. Namun, ada perbedaan pandangan jika penerimanya adalah non-Muslim.
Beberapa ulama seperti Imam Al-Hasan Al-Basri, Al-Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa memberikan daging qurban kepada non-Muslim miskin diperbolehkan. Sebaliknya, Al-Imam Malik berpendapat bahwa tindakan ini tidak disukai (makruh), termasuk pemberian bagian lain dari hewan qurban. Al-Laits menyarankan bahwa jika daging qurban dimasak terlebih dahulu dan kemudian non-Muslim diundang untuk makan bersama, hal ini diperbolehkan. Al-Imam An-Nawawi menambahkan bahwa daging qurban sunnah boleh diberikan kepada non-Muslim, sedangkan daging dari qurban yang wajib tidak boleh. Syeikh Ibnu Qudamah juga mendukung kebolehan ini, menyatakan bahwa memberikan daging qurban kepada non-Muslim dibolehkan, karena mereka juga dapat mengonsumsinya, seperti halnya makanan lainnya yang diberikan sebagai sedekah umum.
Pembagian daging qurban kepada non-Muslim terkait erat dengan prinsip-prinsip Islam dalam berinteraksi dengan mereka yang berbeda keyakinan. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8). Selain itu, Nabi Muhammad saw pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr untuk memberikan harta kepada ibunya, meskipun ibunya masih musyrik. Hal ini menunjukkan kebolehan tersebut, sebagaimana dirujuk dalam Fatwa Lajnah Daimah no. 1997.
Dari berbagai pandangan ini, mayoritas ulama cenderung mendukung kebolehan memberikan daging qurban kepada non-Muslim, terutama jika mereka miskin atau tinggal di tengah komunitas Muslim. Tindakan ini dapat mempererat hubungan sosial dan menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam.
Dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, memberikan daging qurban kepada non-Muslim bisa menjadi jembatan untuk dialog antaragama dan budaya. Hal ini juga memperkuat harmoni sosial dan mengurangi ketegangan antar kelompok. Selain itu, bantuan semacam ini juga bisa menjadi bentuk dakwah melalui perbuatan baik, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang peduli dan inklusif.
Tim Redaksi Badamai