Kisah Keluarga Kucing tanpa Monopoli Kebenaran

Penulis: Habib Salim A Vad’aq

Saya adalah seorang catlovers. Ada 3 kucing di rumah saya yang telah menjadi keluarga besar saya tanpa dicantumkan di Kartu Keluarga Al-Vad’aq. Ketiganya berspesies berbeda, 1 kucing anggora dan 2 kucing kampung. Tetapi, ketika mereka berkomunikasi dengan saya sebagai babunya, mereka akan mengeong, bukan bunyi-bunyian yang lain.

Uniknya, mereka hidup dengan damai. Tidak pernah bertengkar, namun saling mengasihi. Mereka sanggup berbagi makanan, dan saling jilat-menjilat tubuh seolah berkata “kalian adalah keluargaku juga, mari saling rukun”

Saya rasa, memang semua kucing demikian. Saya buktikan sendiri dengan menjelajah ke seluruh dunia. Saya mengabsen seluruh kucing yang ada di muka bumi. Ya, dengan Youtube!. Hasilnya, saya dapati mulai kucing domestik hingga liar, bahkan kucing tanpa bulu berwarna pink berharga mehong, Sphinx juga akan mengeong, bukan mengaum.

Saya merenung, kucing di seluruh dunia pasti mengeong. Padahal, bentuk mereka berbeda, bahkan mereka tidak pernah bertemu dan takkan berpikir untuk bertemu. Tapi mereka mewariskan satu warisan, bahasa dan sikap yang sama.

Manusia, makhluk terkompleks yang saya pernah temui. Alhamdulillah, saya termasuk bagian dari spesies manusia sehingga saya dapat merasakan fakta yang ada. Begitu banyak hal yang dapat kita temui di manusia, bahkan ilmuwan masih belum sanggup untuk mengenal manusia seutuhnya. Anatomi, syaraf, pola pikir, sikap, mood masih kalah jauh risetnya dibanding hasil riset yang dirilis tentang astronomi, galaksi, hingga lubang hitam bertebaran di angkasa raya.

Dua hal yang paling khas dari manusia, akal dan rasa. Kita akan menemui segudang frasa tentang rasio manusia seperti “afalaa tatafakkarun, liqawmin ya’lamun, li ulil albab, dan sebagainya”, dan kita bisa temui berbagai adegan dalam Quran yang menggambarkan perasaan manusia seperti kisah haru Yusuf ketika bertemu saudaranya, Ibrahim yang berat untuk menyembelih anaknya, hingga ketamakan Firaun yang masih berambisi mengejar Musa untuk melanggengkan kekuasaannya. Memang akal dan rasa tidak bisa disingkarkan.

Baca Juga  Melihat Respons Masyarakat Indonesia terhadap Agresi Israel ke Palestina

Maksud saya, akal kita tidak akan pernah berhenti untuk menggenjot kita untuk berpikir, lalu menghasilkan pemahaman. Sedang rasa, akan melatarbelakangi hasil pikir kita mau dibawa kemana. Katakanlah rasa ingin tahu kita terhadap bagaimana sebuah kekuasaan harus diatur, melahirkan teori trias politica, atau dimana posisi Allah dan bagaimana Ia bekerja akan melahirkan berbagai macam pemahaman teologi dan teosofi.

Tapi, rasa juga yang akhirnya kadang mendorong kita untuk berlaku tidak adil. Mengenyahkan rasio objektivitas hanya karena sebuah keyakinan yang kita yakini. Padahal, pengetahuan adalah bebas nilai. Artinya, pengetahuan tidak pernah memihak dirinya “punya siapa”. Disinilah, karena pengetahuan adalah “stateless”, maka parapihak sering menganeksasi dengan agresi lalu mengklaim bahwa pengetahuan itu adalah miliknya, dan yang lain salah, atau tidak berhak.

Contohnya? Ya, bagaimana bisa sebuah perkumpulan yang menisbahkan dirinya dimana pada mulanya dibentuk untuk melindungi ulama dan mengedepankan nilai-nilai pertengahan, perdamaian, dan kebijaksnaan dalam beragama justru menjadi senjata untuk membubarkan atau merusak sebuah kumpulan atau komunitas manusia yang berada di rumah ibadah atau pengajian untuk mengenal ajaran Tuhan mereka, Allah? Sekalipun komunitas yang mereka bubarkan berbeda melihat ajaran agama mereka dari sudut pandang mainstream. Tapi semuanya masih berada di koridor Ahlu Sunnah wal jamaah.

Dalih diajukan, karena menimbulkan kegaduhan! Padahal bukankah justru perilaku mereka yang berulang kali telah menimbulkan kegaduhan? Betapa masyarakat akhirnya beropini bahwa standar ganda telah diberlakukan. Kelompok ini dapat merangkul lintas keyakinan, namun gagal dalam menggandeng tangan saudara sendiri dalam keluarga besar Islam yang beda pendapat. Atau, bisa mengeluarkan penyataan pedas tentang tokoh Islam dari komunitas berbeda pandangan semisal pada seorang ustaz yang menggunakan kosakata milenial untuk menyederhanakan pemahaman tentang sirah nabawiyah, namun bungkam tatkala ada seorang Kyai menggunakan kata “ingusan”, “dukun” atau kata-kata yang dinilai peyoratif terhadap sosok Agung Rasul Muhammad

Baca Juga  Cerita Asian Games IV 1962 Jakarta: ‘Politik Mercusuar’ Sukarno

Ya, begitulah pengetahuan. Saking bebas nilainya, ia diam diam bae digunakan oleh siapa saja yang mengklaim dirinya. Begitu damai pengetahuan. Tapi, terlalu damai hingga menimbulkan riak. Ibarat air tenang, ia mudah terpercik ketika dilempar batu.

Tapi omon-omon, hingga saat ini kucing saya masih damai. Walaupun manusia masih sering saling monopoli dengan akal dan rasa, tapi kucing saya masih tetap mengasihi. Ya karena kami satu keluarga walau tidak satu KK. Saya harap, kucing saya tidak pernah mengganggu atau membubarkan kucing yang lain apalagi kucing-kucing yang telah menjadi saudara di keluarga kami yang sedang makan, kawin, atau bersantai.