Dalam sebuah acara penutupan Training of Trainer (TOT) penguatan moderasi dan pembinaan ASN di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember pada tanggal 13 Juli 2024, Prof Zainul Hamdi, yang akrab disapa Prof Inung dan menjabat sebagai Direktur Diktis di Kementerian Agama RI, menyoroti pentingnya peningkatan mutu birokrasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Dalam pidatonya, Prof Inung mengangkat gagasan dari Ibn Atha’illah dalam kitab al-Hikam sebagai landasan untuk meningkatkan kesadaran manajemen di lingkungan akademik.
Dilansir dari Frensia.id, Prof Inung menjelaskan bahwa al-Hikam Ibn Atha’illah as-Sakandari membahas dua maqam manusia: maqam tajrid dan maqam asbab. Menurutnya, orang yang masih berada di maqam asbab namun merasa sudah berada di maqam tajrid biasanya telah dikalahkan oleh hawa nafsu dan merupakan manusia yang tidak sadar maqam. Maqam tajrid adalah posisi bagi kekasih Allah yang rezekinya sudah dijamin, sedangkan maqam asbab adalah posisi bagi mereka yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan sunnatullah.
“Orang yang sok berada di maqam tajrid padahal masih di maqam asbab biasanya bertindak tidak masuk akal. Mereka merasa sebagai kekasih Tuhan dan enggan bekerja, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka menjual segala sesuatu, termasuk agama dan Tuhan mereka,” ungkap Prof Inung.
Ia menekankan pentingnya kesadaran maqam dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam pengelolaan PTKI. Menurutnya, kesadaran maqam adalah kunci pertama dalam menjaga tata kelola yang baik. Prof Inung mengingatkan bahwa orang yang tidak sadar maqamnya akan menyebabkan kekacauan dalam tata kehidupan dan birokrasi perguruan tinggi.
Prof Inung menganjurkan para sivitas UIN KHAS Jember untuk mengadopsi gagasan Ibn Atha’illah dalam meningkatkan mutu kampus. Ia menekankan pentingnya pemahaman posisi atau maqam masing-masing oleh rektor, wakil rektor, dekan, hingga wakil dekan, sebagaimana diajarkan dalam tasawuf.
“Belajar tentang tasawuf dalam kehidupan sehari-hari itu sangat praktis. Kita harus membawa ajaran al-Hikam ke dalam organisasi di kampus. Organisasi di kampus seringkali hancur karena setiap orang tidak sadar akan maqamnya,” jelasnya.
Prof Inung memberikan contoh perilaku sivitas PTKI yang tidak sadar maqam, seperti seseorang yang bukan rektor namun merasa menjadi rektor, yang menurutnya dapat merusak tata kelola organisasi.
“Jika seorang warek tidak menyadari maqomnya sebagai warek tetapi merasa seperti rektor, itu bisa menghancurkan organisasi. Begitu juga dengan dekan yang merasa menjadi kabag,” katanya.
Ia menegaskan bahwa kesadaran akan maqam adalah penting untuk seluruh pengelola PTKI. Menurutnya, tata kelola organisasi pendidikan memerlukan ajaran sufistik tentang kesadaran maqam. Prof Inung menekankan bahwa dalam perspektif sosiologi, organisasi kampus bersifat strukturalis fungsional dan harus mengadopsi pendekatan ini untuk menghindari anarki.
“Fungsionalisme struktural dalam organisasi itu penting untuk menjaga tata kelola yang baik. Jika tidak, organisasi akan jatuh ke dalam anarki,” tegasnya.