Dalam keberagaman budaya dan tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, Tahlilan merupakan salah satu contoh konkret dari pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila. Tradisi yang dikenal sebagai bentuk peringatan doa bersama untuk mendoakan almarhum ini tidak hanya mencerminkan aspek keagamaan, tetapi juga mengandung nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan yang diusung oleh bangsa Indonesia.
Menggali Nilai Ketuhanan dalam Tradisi Tahlilan
Sebagai wujud dari pengamalan sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa,” Tahlilan dimulai dengan pembacaan surat-surat pendek dan ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan keesaan Tuhan, seperti Surah Al-Ikhlas. Tradisi ini menjadi salah satu bentuk ekspresi keimanan kepada Allah SWT dan penghormatan terhadap nilai-nilai ketuhanan. Umat Islam di berbagai penjuru negeri, baik di kota maupun di desa, merayakan Tahlilan sebagai bentuk refleksi spiritual, mengingatkan akan kehidupan setelah mati, dan mempertebal keimanan serta ketaqwaan kepada Sang Pencipta.
Tahlilan sebagai Wujud Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” tercermin dalam kesetaraan dan kebersamaan yang ditampilkan dalam pelaksanaan Tahlilan. Dalam acara tersebut, semua orang tanpa memandang status sosial, ekonomi, ataupun usia, duduk bersila bersama, saling bahu-membahu dalam memanjatkan doa. Tidak ada sekat atau perbedaan yang membatasi, semua peserta, baik yang tua maupun muda, yang kuat maupun lemah, saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Tahlilan menjadi simbol penghargaan terhadap hak asasi manusia, di mana setiap individu diakui dan dihormati martabatnya sebagai manusia.
Membangun Persatuan Melalui Silaturahmi dalam Tahlilan
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” tercermin dari praktik tradisi Tahlilan yang mengandung nilai persatuan. Sebelum dan sesudah Tahlilan, ada tradisi saling bersalaman atau berjabat tangan yang menjadi simbol keakraban dan kesatuan antar masyarakat. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial dan menjalin silaturahmi antarwarga, mempererat solidaritas dalam keberagaman yang ada. Dalam kebersamaan, masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul untuk tujuan yang sama, yakni memperingati orang yang telah tiada dan mengokohkan ukhuwah islamiyah serta persaudaraan dalam satu bingkai kebangsaan.
Pemimpin Kolektif sebagai Implementasi Nilai Musyawarah
Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” terimplementasikan dalam tata cara kepemimpinan dalam Tahlilan. Tradisi ini seringkali dipimpin oleh seorang tokoh agama atau pemuka masyarakat yang dihormati dan dipilih melalui musyawarah bersama. Pengambilan keputusan ini tidak bersifat otoriter, melainkan melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, sehingga mencerminkan prinsip demokrasi yang sehat dan berkeadilan.
Keadilan Sosial untuk Seluruh Peserta Tahlilan
Terakhir, sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” terwujud dalam pembagian besek atau nasi kotak yang merata kepada seluruh peserta Tahlilan. Tanpa memandang siapa yang hadir, semua mendapatkan bagian yang sama, mencerminkan prinsip keadilan sosial. Hal ini juga menggambarkan betapa kuatnya nilai gotong royong dalam budaya kita, di mana masyarakat bahu-membahu menyumbangkan apa yang mereka miliki demi kesejahteraan bersama.
Pada akhirya dalam perbincangan pendekatan sosial dan kebudayaan, tahlilan bukan sekadar tradisi keagamaan, tetapi juga media pembelajaran dan pengamalan Pancasila secara nyata. Dalam setiap pelaksanaan Tahlilan, kita dapat melihat refleksi dari nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial yang menjadi pondasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, Tahlilan bukan hanya sebuah ritual keagamaan, melainkan juga sarana untuk memperkokoh persatuan, meningkatkan solidaritas, dan mengokohkan kebersamaan di tengah keberagaman. Melalui tradisi ini, kita diajak untuk terus merenungkan dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, demi terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera.