Jejak Praktik Moderasi Berislam di Tanah Banjar dalam Kitab Sabilal Muhtadin

Oleh: Gusriawan Sholehudin Wahid

Para sejarawan menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Kalimatan Selatan sebelum lahirnya Syekh Arsyad Al-Banjari tergolong lambat. Salah satu penyebabnya ialah ketiadaan seseorang yang dijadikan tokoh maupun pelopor dalam perkembangan dkawah Islam saat itu.

Kemunculan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kemudian menjadi titik balik penting dalam sejarah Islam di daerah ini. Melalui karya-karyanya, terutama kitab Sabilal Muhtadin sebuah kitab fiqih yang lahir pada abad ke-18 Masehi, ia memperlihatkan pendekatan dakwah yang sangat kontekstual dan responsif terhadap budaya lokal.

Dakwah yang dilakukan oleh Syekh Arsyad memilki corak tersendiri, menyesuaikan dengan kearifan lokal yang telah ada dan tumbuh subur di tanah Kalimantan. Alfani Daud mislanya menyebutkan bahwa pada saat sebelum masyarakat Banjar menganut agama Islam, kegiatan adat istiadat tersebut sudah ada. Masuknya Islam di wilayah itu tidak menghilangkan kegiatan tersebut secara menyeluruh. Sebaliknya justru membalut kegiatan atau aktivitas adat istiadat tersebut dengan nilai-nilai Islam. Misalnya upacara mengayun bayi atau baayun maulid. Upacara mengayun bayi ini dilakukan setelah bayi dilahirkan. Umumnya diselenggarakan saat bayi berumur 40 hari. Pada acara ini disediakan piduduk atau sesajian di bawah ayunan bayi dan diiringi bacaan maulid.

Upacara ini jelas bukan bersumber dari ajaran Islam. Ini adalah warisan budaya dari masyarakat Banjar. Di mana dalam rangka merayakan kelahiran bayi dengan mengayunnya di ayunan. Oleh Muslim terdahulu kegiatan baayun maulid ini kemudian diselingi dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran dan juga disertai doa-doa untuk si bayi, dengan harapan agar kelak ia menjadi generasi yang membanggakan. Masih banyak lagi kearifan lokal Kalimantan dengan berbagai keunikan
tradisionalnya. Pengaruh agama Islam cukup besar kepada tradisi masyarakat di Kalimantan khususnya di tanah Banjar. Inilah sebagai bukti Islam yang menyebar di sana adalah Islam yang moderat.

Syaifullah dalam artikelnya berjudul “MODERASI ISLAM DALAM KITAB SABILAL MUHTADIN: KEARIFAN LOKAL TANAH BANJAR” yang terbit di Jurnal Muasarah: Jurnal Kajian Islam Kontemporer pada 2020 menyebutkan 3 contoh penerapan moderasi dalam menentukan hukum Islam dalam konteks tanah banjar dalam kitab Sabilal Muhtadin. Berikut adalah corak moderat dalam menyikapi kearifan lokal di tanah banjar dalam kitab sabilal Muhtadin:

Konsep Jamban

Bagi masyarakat Banjar, istilah jamban merujuk pada tempat buang hajat, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai WC atau kakus. Jamban biasanya terbuat dari kayu dan dibangun di atas rakit yang mengapung di sungai, mengikuti arus air. Lokasinya disebut “batang”, yakni sisi sungai tempat masyarakat beraktivitas.

Baca Juga  Memahami Isu Regulasi Pendirian Rumah Ibadah Di Indonesia

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dalam Sabilal Muhtadin, memberikan panduan fikih terkait adab buang hajat. Beliau menegaskan bahwa membuang air besar atau kecil tidak disunnahkan menghadap atau membelakangi kiblat, terutama jika dilakukan di ruang terbuka tanpa pembatas. Namun, jika dilakukan di tempat tertutup seperti jamban, maka hukum larangan tersebut gugur.

Syekh Arsyad menjelaskan bahwa selama tempat buang hajat memiliki sekat setinggi minimal dua pertiga hasta, maka tidak masalah jika arah buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat, termasuk jamban yang arahannya bisa berubah karena mengikuti arus sungai. Pendekatan ini menunjukkan sikap fikih yang adaptif terhadap kondisi lokal.

Sebaliknya, jika buang hajat dilakukan di tempat terbuka yang tidak memiliki sekat atau cukup jauh dari kiblat, maka menghadap atau membelakangi kiblat bisa menjadi makruh bahkan haram. Oleh karena itu, keberadaan jamban yang sesuai standar menjadi penting dalam praktik keseharian masyarakat Banjar.

Di sisi lain, masyarakat Banjar juga mengenal istilah batang, yaitu rakit dari batang kayu yang digunakan untuk mandi dan mencuci, bukan untuk buang hajat. Jamban dibangun berdampingan dengan batang, berfungsi khusus sebagai tempat buang hajat.

Pemikiran Syekh Arsyad dalam hal ini mencerminkan sikap moderat. Alih-alih melarang penggunaan jamban karena potensi arah yang menghadap kiblat, beliau menetapkan kriteria tertentu yang membuat penggunaannya tetap dibolehkan. Ini menunjukkan pendekatan hukum Islam yang kontekstual dan bijak dalam merespons kebiasaan lokal, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariat.

Tabala Untuk Mayit

Dalam tradisi pemakaman masyarakat Banjar, tabala adalah peti jenazah yang umumnya dibuat dari kayu ulin—bahan lokal yang terkenal tahan lama dan kokoh. Fungsi utamanya adalah sebagai wadah jenazah saat dikuburkan, terutama dalam kondisi geografis yang menantang. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Sabilal Muhtadin menyatakan bahwa penggunaan tabala tergolong makruh dan bahkan dianggap sebagai bid‘ah, kecuali dalam situasi darurat seperti tanah kubur yang labil, berair, atau kondisi jenazah perempuan yang tidak ada mahramnya. Dalam situasi demikian, pemakaian peti jenazah justru menjadi keharusan demi menjaga martabat jenazah dan kelancaran proses penguburan.

Penggunaan peti dalam penguburan bukan berasal dari praktik Islam, melainkan merupakan warisan kebiasaan komunitas Nasrani. Namun, dalam Islam, penggunaannya masih bisa dibenarkan dalam konteks darurat, sebagaimana dijelaskan oleh berbagai mazhab fikih. Mazhab Hanafi membolehkan penggunaannya jika ada kebutuhan, seperti tanah becek atau untuk penguburan di laut, dan menganjurkan agar bagian dalam peti ditaburi tanah. Mazhab Malik lebih cenderung menggunakan bahan seperti batu bata atau papan untuk mendukung kubur, bukan peti. Sementara itu, Mazhab Syafi’i dan Hambali secara umum tidak menganjurkan penggunaan peti, kecuali dalam keadaan mendesak seperti jenazah terbakar atau perempuan tanpa mahram, karena dikhawatirkan praktik ini menyimpang dari keteladanan Rasulullah.

Baca Juga  Moderasi dan Toleransi dalam Islam: Sebuah Tafsir atas Makna Tawasuth dan Tasamuh

Adapun dari segi teknis, penguburan jenazah idealnya dilakukan dengan kedalaman tertentu dan menggunakan teknik penggalian seperti lahad—yakni lubang di sisi kubur yang menghadap kiblat. Jika kondisi tanah tidak memungkinkan, maka dapat digunakan teknik syaq, yaitu lubang di bagian tengah kubur. Dalam praktik ideal, lahad digunakan untuk jenazah Muslim, sedangkan syaq lebih umum digunakan oleh non-Muslim.

Melalui pendekatan yang kontekstual dan memahami karakteristik geografis Kalimantan Selatan—yang memiliki struktur tanah gembur dan lembap—Syekh Arsyad menunjukkan sikap bijak dan moderat. Ia tidak memaksakan penerapan hukum secara tekstual yang tidak relevan dengan realitas lokal, melainkan memberi ruang legalitas bagi praktik masyarakat Banjar dengan menetapkan syarat-syarat tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pendekatan seperti ini mencerminkan fleksibilitas dalam istinbath hukum dan menunjukkan bahwa Islam mampu hadir secara adaptif dan ramah terhadap budaya lokal tanpa kehilangan substansi ajaran.

Dengan demikian, ketentuan mengenai tabala bukanlah bentuk pembiaran terhadap praktik non-syari’ah, melainkan strategi harmonisasi antara fikih klasik dengan realitas sosial masyarakat Banjar. Ini sekaligus memperlihatkan bagaimana seorang ulama lokal mampu menjadi jembatan antara tradisi dan hukum Islam secara produktif dan solutif.

Pemberian Makan untuk para Pelayat dan ahli Waris

Di tengah masyarakat Banjar, menyuguhkan makanan bagi para pelayat yang datang bertakziah telah menjadi bagian dari adat yang lazim dijalankan. Secara moral, bertakziah kepada keluarga yang sedang berduka adalah anjuran mulia dari Nabi Muhammad Saw. Namun, penyediaan jamuan oleh pihak keluarga yang tengah kehilangan justru menjadi perhatian hukum Islam karena dapat menambah beban emosional dan ekonomi mereka.

Dalam kitab Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyampaikan pandangannya secara tegas: membuat makanan untuk pelayat baik sebelum atau sesudah penguburan merupakan perbuatan yang tergolong makruh dan bahkan bid‘ah. Hal ini dikarenakan tradisi tersebut cenderung membebani keluarga yang sedang berduka, yang mungkin saja tidak memiliki cukup sumber daya untuk melaksanakan jamuan itu. Dengan demikian, menurut Syekh Arsyad, praktik tersebut tidak sejalan dengan prinsip meringankan beban orang yang sedang tertimpa musibah.

Baca Juga  Tak Ingin Cantumkan Gelar, Rektor UII: Kampus Harus Jadi Tempat Paling Demokratis

Alih-alih membenarkan kebiasaan menjamu pelayat, Syekh Arsyad justru mendorong masyarakat sekitar untuk menunjukkan empati dan solidaritas dengan membawa makanan kepada keluarga yang berduka. Dalam narasi fikih yang beliau bangun, tindakan ini dinilai sunnah karena mendukung kebutuhan dasar keluarga yang sedang dalam suasana kehilangan dan duka mendalam. Kondisi berduka kerap membuat seseorang melalaikan urusan makan dan kesehatan, sehingga hadirnya bantuan berupa makanan merupakan bentuk kasih sayang yang konkret dan penuh hikmah.

Dengan pendekatan yang inklusif dan solutif, Syekh Arsyad tidak serta-merta menolak tradisi takziah, tetapi mengarahkan masyarakat agar mengekspresikan kepedulian secara lebih arif dan tidak membebani yang ditimpa musibah. Solusi yang beliau tawarkan selaras dengan nilai kearifan lokal Banjar, yaitu kebiasaan membawa bahan makanan atau sembako ketika melayat. Tradisi ini memperlihatkan wajah Islam yang empatik, tidak kaku terhadap budaya lokal, dan senantiasa menimbang realitas sosial dalam penyusunan hukum.

Sikap Syekh Arsyad ini mencerminkan moderasi Islam yang tidak menghapus tradisi secara frontal, melainkan mengarahkan praktik sosial agar tetap berada dalam koridor syariah tanpa menanggalkan unsur kebersamaan dan gotong royong. Tradisi takziah tetap terjaga, namun dilandasi semangat saling membantu, bukan saling membebani.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa pemikiran dan pendekatan dakwah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari melalui karya monumental Sabilal Muhtadin tidak hanya menunjukkan keutamaan dalam menjaga prinsip syariat, tetapi juga mencerminkan sikap moderat yang mampu mengharmoniskan ajaran Islam dengan tradisi lokal di Kalimantan Selatan, khususnya di masyarakat Banjar. Melalui berbagai contoh, seperti adab buang hajat, penggunaan tabala untuk jenazah, dan pemberian makanan untuk pelayat, Syekh Arsyad menunjukkan fleksibilitas dalam menafsirkan hukum Islam agar lebih sesuai dengan konteks budaya setempat. Ini menunjukkan bahwa Islam yang berkembang di Kalimantan Selatan adalah Islam yang moderat, adaptif, dan penuh empati terhadap kearifan lokal, tanpa mengesampingkan nilai-nilai syariah yang fundamental. Pendekatan ini tidak hanya menjembatani antara hukum Islam dan adat, tetapi juga memberi solusi yang praktis dan solutif bagi masyarakat, menciptakan harmoni antara agama dan budaya.

Referensi:

Syaifullah, A. “Moderasi Islam dalam Kitab Sabilal Muhtadin: Kearifan Lokal Tanah Banjar”, Muẚṣarah: Jurnal Kajian Islam Kontemporer , Vol 2 No. 1 (2020): 31-44 DOI: 10.18592/ muẚṣarah.v17i1.3002

Alfani Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan. Banjar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muhaimin. 2001.