Penggambaran “Jauhnya” Kita Dengan Nabi Muhammad dalam Puisi Gus Mus

Oleh: Gusriawan S Wahid

KH. Ahmad Mustofa Bisri, yang kerap disapa Gus Mus, tidak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga sebagai pujangga yang telah melahirkan banyak karya sastra, termasuk puisi. Puisi-puisi Gus Mus kerap menggunakan diksi yang, menurut penulis, seakan mengajak para pembacanya untuk merenung dan merasakan keresahan yang perlu dihadirkan. Penilaian ini menjadi jelas ketika kita menyimak bait demi bait dalam puisinya yang berjudul “Bagaimana Aku Menirumu, O Kekasihku?” Dalam puisi tersebut, Gus Mus menggambarkan kesempurnaan pribadi Nabi Muhammad SAW serta kualitas kepribadiannya, yang meskipun kita coba ikuti, tetap tidak akan pernah setara dengan beliau.

Penggambaran ketidakmampuan kita dalam menirukan Nabi diwakili dengan penggunaan kalimat tanya “Bagaimana” yang menandakan ketidaktahuan cara. Bait pertama membuka perenungan kita:

“Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau purnama yang menebarkan senyum kemana-mana
Aku pekat malam tanpa rona”

Di sini, Gus Mus menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai purnama yang menyinari kegelapan malam, sementara kita hanyalah pekat malam tanpa cahaya. Purnama melambangkan kesempurnaan, kebijaksanaan, dan kasih sayang yang menerangi seluruh umat. Sebaliknya, kita adalah sosok yang masih penuh dengan kekurangan dan kegelapan batin. Tantangan untuk meniru Nabi terasa begitu besar, seolah mustahil untuk mencapai cahaya yang sama.

“Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mata air
Aku di muara
Dimana kucari jernihmu”

Bait berikutnya membandingkan Nabi dengan mata air yang murni, sedangkan kita adalah muara yang telah tercemar oleh berbagai kekurangan dan dosa. Air yang mengalir dari mata air melambangkan kemurnian ajaran Nabi yang bersumber langsung dari wahyu Allah. Sebaliknya, kita sering kali merasa terjebak dalam keruhnya kehidupan, sulit menemukan kemurnian tersebut dalam diri kita. Namun, meski berada di muara, kita tetap harus berusaha mencari jernihnya mata air ajaran Nabi.

Baca Juga  Melihat Tahlilan Sebagai Wadah Penggambaran Nilai-Nilai Pancasila

“Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau samudra
Aku di pantai
Hanya termangu”

Nabi Muhammad SAW diibaratkan sebagai samudra yang luas dan dalam, penuh dengan hikmah dan pengetahuan. Sedangkan kita hanyalah pantai, terpisah dari kedalaman samudra tersebut, hanya bisa termangu di tepiannya. Perasaan termangu ini menggambarkan betapa jauhnya jarak antara diri kita yang terbatas dengan keluasan ilmu dan kebijaksanaan Nabi.

“Engkau merdeka
Aku terbelenggu
Engkau ilmu
Aku kebodohan”

Gus Mus menyentuh aspek spiritual dan intelektual dalam bait ini. Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai sosok yang merdeka, terbebas dari segala hawa nafsu dan kebodohan. Sementara itu, kita sering kali terbelenggu oleh nafsu dan kebodohan, sulit untuk mencapai kemerdekaan spiritual seperti beliau. Ini adalah pengingat bahwa meniru Nabi bukan hanya soal mengikuti perilaku lahiriah, tetapi juga membebaskan diri dari belenggu-belenggu batiniah.

“Engkau bijaksana
Aku semena-mena
Diammu tafakkur
Diamku mendengkur”

Perbedaan antara kebijaksanaan Nabi dan kelalaian kita semakin nyata dalam bait ini. Nabi Muhammad SAW, dalam diamnya, selalu bertafakkur, merenungi kebesaran Allah dan mencari hikmah dalam setiap kejadian. Sementara itu, kita sering kali mengisi diam kita dengan kelalaian, bahkan mendengkur dalam tidur tanpa memikirkan hal-hal yang lebih besar. Ini menunjukkan betapa jauh kita dari kesadaran dan kebijaksanaan yang dimiliki Nabi.

“Bicaramu pencerahan
Bicaraku ocehan
Engkau memberi
Aku meminta”

Bait ini menyoroti perbedaan dalam cara berkomunikasi dan bertindak. Nabi Muhammad SAW selalu memberikan pencerahan dalam setiap ucapannya, sementara kita sering kali hanya berbicara tanpa makna, sekadar ocehan. Nabi adalah sosok yang memberi tanpa mengharapkan balasan, sedangkan kita lebih sering meminta dan mengharapkan sesuatu dari orang lain. Ini menggambarkan betapa sulitnya meniru sifat dermawan dan bijak yang dimiliki Nabi.

Baca Juga  Kebablasan Prancis Di Balik Woke Agenda

“Engkau mengajak
Aku memaksa
Engkau kaya dari dalam
Aku miskin luar-dalam”

Dalam bait ini, Gus Mus menunjukkan perbedaan antara ajakan Nabi yang penuh kelembutan dan hikmah dengan cara kita yang kadang memaksa dan tidak bijak. Nabi Muhammad SAW memiliki kekayaan batin yang luar biasa, sementara kita sering kali merasa miskin, baik secara materi maupun spiritual. Namun, Nabi mengajarkan bahwa kemiskinan bisa menjadi pilihan jika kita mampu kaya dari dalam, penuh dengan keimanan dan ketenangan.

“Miskin bagimu adalah pilihan
Miskin bagiku adalah keterpaksaan”

Dalam bait ini, Gus Mus menggambarkan perbedaan mendalam antara kemiskinan yang dijalani oleh Nabi Muhammad SAW dan kita sebagai manusia biasa. Bagi Nabi, kemiskinan adalah pilihan yang diambil dengan penuh kesadaran sebagai bentuk komitmen terhadap kesederhanaan dan keadilan, serta sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, kemiskinan yang kita alami sering kali merupakan keterpaksaan, sebuah kondisi yang tidak diinginkan dan menghambat kehidupan kita. Bait ini mengajak kita untuk merenungkan perbedaan pandangan ini, mengingatkan kita untuk menilai kemiskinan tidak hanya dari segi material, tetapi juga dari sudut pandang spiritual dan moral, seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebagai penutup, puisi Gus Mus tentang Nabi Muhammad SAW bukan hanya mengajak kita untuk merenungi kesempurnaan sosok Rasulullah, tetapi juga membuka mata kita terhadap kesenjangan antara idealitas yang beliau tunjukkan dan realitas yang kita hadapi. Setiap bait puisi ini menggambarkan dengan mendalam betapa sulitnya meniru kehidupan dan akhlak Nabi, yang selalu penuh dengan kebijaksanaan dan kesederhanaan. Di bulan Maulid ini, mari kita gunakan kesempatan untuk merenung, belajar, dan berusaha meneladani akhlak mulia beliau dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dan mengaplikasikan pelajaran dari puisi ini, kita dapat lebih mendekatkan diri kepada nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan menjalani hidup dengan lebih bermakna dan penuh keimanan.

Baca Juga  Menteri Agama Dapat Kecaman Warganet! Inilah Alasan di Balik Kontroversi Kunjungan Duta Besar AS ke Istiqlal

Terakhir, “Bagaimana aku menirumu, o kekasihku”