Oleh: Muhammad Torieq Abdillah
12 Rabiul Awal selalu diperingati sebagai hari kelahiran Rasulullah. Sebagai uswatun hasanah, rasa-rasanya tidak elok jika tanda kehadiran sang panutan tidak dirayakan sebagai bentuk rasa syukur terbesar.
Hari lahir Rasulullah saja sudah dianggap sebagai hari kemuliaan, terlebih misi dakwah yang beliau sebarkan jelas sangat mulia.
Pertanyaannya, bagaimana mengungkapkan rasa syukur dan cinta kepada Rasulullah melalui hari kelahirannya? Semua keragaman ini tercerminkan di sekitar kita, di negara kita yang bahkan umat Islamnya memiliki tradisi yang berbeda-beda.
Umumnya, merayakan hari kelahiran dirayakan dengan suka cita, penuh makanan dan minuman, dan sebagainya. Sehingga perayaan maulid Rasulullah juga dilakukan begitu. Lebih dari itu, maulid Rasulullah dilakukan tidak hanya di satu tempat, tetapi di mana pun dilakukan.
Hanya saja, dalam konteks Indonesia, perayaan maulid Rasulullah dilakukan dengan berbeda-beda. Misalnya, maulid Rasulullah dilakukan dengan acara pembacaan Barzanji (riwayat hidup keagamaan), lomba keislaman seperti lomba baca Al-Qur’an, lomba azan, lomba sholawatan, maupun lomba maulid habsyi.
Biasanya, mereka yang melakukan maulid Rasulullah seperti acara di atas berasal kaum Nahdliyyin atau umat Islam di Indonesia pada umumnya.
Berbeda dengan warga Muhammadiyah yang memaknai maulid Rasulullah tanpa perayaan khusus. Di mesjid, mushola atau acara Muhammadiyah, maulid Rasulullah juga tidak dikhususkan pada 12 Rabiul Awal saja. Secara umum hanya melalui ceramah agama seperti biasa dengan tema khusus Sirah Nabawiyah.
Perbedaan ini merupakan ijtihadiyah yang mana masing-masing punya alasan kuat sendiri. Seperti halnya menurut Prof. Quraish Shihab, mufasir Indonesia, perayaan maulid Rasulullah sudah ada sejak era Bani Abbasiyah. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk mengenalkan sosok Rasulullah kepada generasi berikutnya.
Adapun menurut Kiai Said, maulid Rasulullah merupakan sunnah taqririyyah atau perkataan dan perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah, tetapi Rasullah dibenarkan Rasulullah. Sebab maulid Rasulullah bertujuan memuji, mengagungkan, dan memuliakan Rasullah sehingga tidak ada larangan.
Berbeda pendapat dengan Tim Fatwa Tarjih Muhammadiyah yang mencoba mencari dalil larangan terkait maulid Rasulullah. Sehingga di sini dapat disebut bahwa tidak ada kewajiban untuk melaksanakan maupun melarang.
Batasan yang dikatakan Tim Fatwa Tarjih Muhammadiyah ialah terkait larangan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik atau memuji Rasullah secara berlebihan sehingga masuk dalam ranah ghuluw (berlebihan).
Poin dari Tim Fatwa Tarjih Muhammadiyah, jangan sampai masuk ranah yang dilarang karena harus atas dasar kemaslahatan.
Di daerah-daerah lain juga dengan acara dan nama berbeda terkait perayaan maulid Rasulullah.
Seperti di Madura, maulid Rasulullah berupa tradisi Muludhen, masyarakat Minang menyebutnya tradisi Bungo Lado, kemudian warga Kudus memberi istilah tradisi Kirab Ampyang, dan sebagainya di daerah lain. Kemajemukan masyarakat Indonesia sudah mengajar sehingga maulid Rasulullah sudah menjadi bagian tradisi.
Tujuannya tetap sama, memuji, memuliakan, dan mengagungkan Rasullah.
Sumber: nu.or.id dan muhammadiyah.or.id