Kala Sunni dan Syiah Satu Shaf Dalam Perjuangan: Refleksi Moderasi Di Tengah Konflik Palestina

Oleh: Muhammad Torieq Abdillah

Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama puluhan tahun, bermula sejak Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menjanjikan pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina. Puncaknya adalah pendirian Israel pada 1948, disusul berbagai peristiwa besar seperti Perang Enam Hari (1967), perang Yom Kippur (1973), invasi Israel ke Lebanon (1982), dua gelombang intifada (1987–1993 dan 2002–2005), serta beberapa konflik di Gaza dan gejolak di sekitar Masjid Al-Aqsa hingga tahun 2022.

Pada Oktober 2023, konflik memanas kembali dengan operasi militer yang disebut “Taufan al-Aqsa,” yang menyerukan negara-negara Arab dan Islam untuk turut serta. Laporan Kementerian Agama Gaza mencatat kerusakan signifikan, termasuk hancurnya lebih dari 800 masjid, beberapa gereja, fasilitas pendidikan, dan kerugian material mencapai 5,4 triliun rupiah.

Palestina, diwakili oleh Hamas, mendapat dukungan dari kelompok Syiah seperti Hizbullah di Lebanon dan milisi Houthi di Yaman, serta dukungan penuh dari Iran. Dukungan ini menarik perhatian karena Hamas adalah gerakan Sunni, sementara pendukung utamanya berasal dari fraksi Syiah. Hubungan ini menimbulkan pertanyaan mengenai tujuan politik kelompok Syiah serta peran negara-negara Arab Sunni yang terlihat pasif.

Sehingga di sini, kita dapat mengeksplorasi bagaimana umat Sunni global, khususnya negara-negara mayoritas Islam, merespons keterlibatan fraksi Syiah dalam konflik ini, yang secara ideologis dan politik sering dianggap sebagai lawan. Perspektif moderasi beragama menjadi penting dalam menganalisis hubungan ini dan implikasinya terhadap solidaritas Islam.

Moderasi beragama berupaya mencapai titik tengah dalam merespons konflik, menghindari ekstremisme dalam pemahaman dan praktik. Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu konflik paling kompleks, melibatkan unsur teologi dan ideologi. Israel mengklaim tanah Palestina berdasarkan janji Tuhan, sementara Palestina, sebelumnya bagian dari wilayah Turki Usmani, merasa wilayahnya direbut. Faktor lain termasuk perbedaan ras serta ketegangan antara Yahudi dan Arab. Meskipun Palestina didukung negara-negara mayoritas Islam, termasuk Sunni dan Syiah, Israel tetap mendominasi di kawasan itu.

Baca Juga  Kecerdasan dan Ketaatan dalam Beragama

Pendekatan moderasi beragama, sebagaimana diajarkan Kementerian Agama melalui nilai tawassuth (berada di tengah), menekankan sikap netral dan objektif. Meskipun secara ideologi Sunni dan Syiah sering berselisih, dukungan Syiah terhadap Palestina, seperti yang dilakukan Iran, perlu diapresiasi. Iran, meskipun berbeda pandangan teologis, menunjukkan solidaritas dalam membela hak asasi manusia dan melawan penindasan Israel. Sikap moderasi ini mengajarkan Sunni untuk menghormati perjuangan Syiah tanpa harus menyetujui doktrin ideologi mereka.

Aksi preventif yang dilakukan fraksi Iran dan Hamas dalam konflik Taufan al-Aqsa adalah bentuk balasan terhadap agresi Israel. Persamaan antara Sunni dan Syiah dapat ditemukan dalam solidaritas nyata untuk membela Palestina, meskipun motif ideologis Syiah tetap perlu disikapi dengan kehati-hatian. Dalam semangat moderasi, nilai tasamuh (toleransi) ditekankan, yaitu menerima perbedaan ideologi untuk kepentingan bersama, khususnya dalam konteks kemanusiaan. Toleransi ini bersifat terbatas, hanya mengapresiasi perlawanan terhadap penjajahan, tanpa menyetujui ajaran atau ideologi Syiah.