Kristen dan Katolik: Percaya pada Tuhan yang Sama, tapi Mengapa dianggap berbeda?

Penulis: Salim A Vadaq

Berbicara tentang agama yang ada di Indonesia, ada 6 agama ditambah 1 kepercayaan yang diakui di Indonesia secara administratif dan berhak dicantumkan di kolom agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan Kepercayaan kepada Tuhan YME. Kekristenan merupakan salah satu agama terbesar di Indonesia dengan persentase 10,47% dari seluruh populasi Indonesia dengan pembagian detilnya 7,40% denominasi Protestan dan 3,06% denominasi Katolik. Kekristenan menempatkan sosok Yesus Kristus sebagai tokoh sentral dalam pengajaran iman Kristiani sekaligus meyakini sosok Yesus Kristus sebagai Allah itu sendiri. Kalaupun mereka mengagungkan dan menyembah sosok yang sama, lantas mengapa pada administrasi negara seperti KTP, kedua agama ini tidak disebut sebagai agama Kristen?

Sejarah Kekristenan

Sejarah Kekristenan erat kaitannya dengan perkembangan gereja Kristen, yang mengajarkan doktrin dan dogma Kristen, serta misteri Allah dan karya penyelelamatan-Nya melalui tokoh sentralnya, Yesus Kristus. Kekristenan muncul di wilayah Levant (sekarang dikenal sebagai Palestina dan Israel) pada pertengahan abad pertama Masehi, dengan kota Yerusalem sebagai titik awal penyebarannya ke Timur Dekat, termasuk wilayah seperti Suriah, Asyur, Mesopotamia, Fenisia, Asia Kecil, Yordania, dan Mesir. Sekitar 15 tahun kemudian, ajaran Kristen mulai masuk ke Eropa Selatan dan menyebar luas di sana, selain juga meluas ke Afrika Utara, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Pada abad ke-4, Kekristenan diadopsi sebagai agama resmi oleh beberapa negara seperti: Dinasti Arsakid di Armenia pada 301, “Iberia Kaukasus” (Georgia) pada 319, Kekaisaran Aksum di Ethiopia pada 325, dan Kekaisaran Romawi pada 380 M.

Istilah “Kristen” pertama kali muncul di Antiokhia sekitar tahun 40-44 Masehi, seperti tercatat dalam Kisah Para Rasul 11:26: “Di Antiokhia lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” Dalam bahasa Yunani, mereka disebut Kristianos, yang berarti pengikut Kristus.

Sementara itu, Gereja dimulai 40 hari setelah kebangkitan Yesus (sekitar tahun 30-34 Masehi) secara resmi. Yesus telah menjanjikan bahwa Dia akan mendirikan Gereja-Nya (Matius 16:18), dan dengan turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1–4), lahirlah istilah “Gereja.” Kata ini berasal dari bahasa Yunani ecclesia, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Portugis sebagai Igreja, dengan makna “kumpulan yang dipanggil keluar.” Pada hari Pentakosta, sekitar tiga ribu orang menerima khotbah dari Simon Petrus, memilih untuk mengikuti Kristus, dan dibaptis.

Baca Juga  Pesan Mewah Dari Vatikan

Menurut tradisi Katolik, sejarah Gereja Katolik dimulai sejak masa hidup Yesus. Berdasarkan Injil Matius, Yesus menunjuk Petrus sebagai landasan Gereja karena pengakuannya terhadap Yesus sebagai Kristus. Santo Petrus kemudian menjadi Uskup Roma pertama, dan misinya berlanjut di Roma, tempat ia dimakamkan di bawah Basilika Santo Petrus. Dalam Kitab Kisah Para Rasul (9:31), istilah Gereja Katolik atau katholikos berasal dari frasa Yunani “Ekklesia Katha Holos,” yang berarti jemaat universal. Ayat ini berbunyi, “Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.” Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dapat diterjemahkan sebagai “Gereja Katolik” yang mencakup jemaat universal.

Pada tahun 1517 M, Martin Luther, seorang biarawan Jerman, mengeluarkan 95 Tesis yang berisi kritik terhadap Gereja Katolik, yang ditempelkan di pintu gereja di Wittenburg, Jerman. Beberapa dalil utamanya adalah bahwa Kitab Suci memiliki otoritas tertinggi dibanding Paus atau gereja (sola scriptura) dan bahwa keselamatan hanya diperoleh melalui iman, bukan melalui perbuatan baik sebagaimana diajarkan Gereja Katolik. Protes dari Martin Luther inilah yang kemudian melahirkan gerakan Reformasi Protestan.

Mengapa ada Pemisahan Nama Kristen dan Katolik di KTP Indonesia?

Para misionaris Kristen mulai menyebarkan agama Kristen di Belanda pada akhir Zaman Klasik dan memasuki awal Abad Pertengahan. Hingga akhir Abad Pertengahan, mayoritas penduduk Belanda masih menganut Katolik.

Johan Calvin (10 Juli 1509 – 27 Mei 1564), seorang teolog Protestan asal Prancis, berperan besar dalam Reformasi Protestan dan pengembangan teologi Kristen yang dikenal sebagai Calvinisme atau teologi Reformasi. Ajarannya banyak diikuti di Prancis Utara, yang saat itu juga disebut Belanda Selatan. Penduduk yang menerima Calvinisme kerap dianiaya oleh umat Katolik, sehingga banyak dari mereka melarikan diri ke Belanda Utara. Jemaat Walloon tertua yang berdiri sejak tahun 1571 berada di Middelburg. Di Belanda, para imigran Prancis ini mengadopsi bahasa serta kebiasaan setempat dan, melalui pernikahan campuran, terintegrasi ke dalam masyarakat Belanda. Karena kesamaan ajaran antara Gereja Reformasi Prancis dan Gereja Reformasi Belanda, tidak jarang orang Protestan Prancis membaptis anak-anak mereka di salah satu dari kedua gereja ini.

Baca Juga  Pengukuhan Paskibraka Menuai Polemik: Larangan Jilbab dan Sikap BPIP Menuai Kritik

Reformasi Protestan mendorong banyak penduduk Belanda untuk meninggalkan Gereja Katolik dan bergabung dengan gereja Protestan. Kebangkitan gerakan Protestan berhubungan erat dengan perjuangan Belanda untuk kemerdekaan dari Spanyol, yang berujung pada Pemberontakan Belanda dan Perang Delapan Puluh Tahun (1568-1648). Gereja Reformasi Belanda menjadi agama mayoritas dan memperoleh status khusus di Republik Belanda hingga tahun 1795, sementara umat Katolik dan kelompok minoritas lainnya seperti Lutheran, Mennonite, dan Remonstran, meskipun ditoleransi, mengalami diskriminasi.

Pemisahan administratif antara Kristen Protestan dan Katolik dipengaruhi oleh pandangan Calvinis yang menganggap ajaran Protestan sebagai bentuk kekristenan sejati karena berpegang langsung pada Kitab Suci. Keinginan kuat Dataran Belanda untuk melepaskan diri dari Spanyol dan Dinasti Habsburg yang Katolik juga memperkuat sentimen anti-Katolik. Beberapa pengikut ekstrim bahkan menyindir umat Katolik sebagai “Papist,” sebuah istilah yang merujuk kepada Gereja Katolik Roma, ajaran, praktik, atau pengikutnya. Istilah ini, yang pertama kali digunakan selama Reformasi Inggris, berkonotasi bahwa penganut Katolik lebih setia kepada Paus dan Gereja Katolik Roma daripada kepada Gereja Inggris. Istilah “Papist” berasal dari bahasa Prancis Abad Pertengahan, yang mengacu pada kata Latin papa atau Paus.

Oleh karena itu, Belanda lebih memilih menyebarkan ajaran Protestan di Hindia Belanda daripada Katolik, dengan mengirimkan misionaris (zending) dan mendukung pendirian organisasi Nederlandse Zendeling Gennotschap (NZG). NZG didirikan pada 19 Desember 1799 oleh HJ Krom, J Th van der Kemp, dan JL Verster. Tujuan utama organisasi ini adalah menyebarkan ajaran Kristus kepada masyarakat awam melalui pengabaran Injil, sebagai cara untuk membawa manusia dari kegelapan menuju kehidupan yang lebih terang atau pencerahan. Setelah NZG terbentuk, kegiatan misionaris ini mulai meluas, termasuk ke wilayah Indonesia.

Baca Juga  Hijrah: Spirit Transformasi Rohani di Era Disrupsi

Apakah Perlu Kristen dan Katolik dijadikan 1 Nama Saja?

Penggabungan Kristen dan Katolik menjadi satu kategori di KTP adalah topik sensitif dan memerlukan pertimbangan dari banyak aspek—mulai dari aspek administratif, sosial, hingga kultural. Saat ini, status pemisahan ini di Indonesia bisa jadi dilandasi oleh keberagaman praktik, teologi, serta organisasi dalam komunitas Kristen dan Katolik, meskipun keduanya berbagi landasan iman yang sama dalam kekristenan. Ada beberapa alasan sebagai bahan pertimbangan.

Alasan untuk mempertimbangkan penggabungan:

  1. Kesamaan Landasan Iman: Kristen dan Katolik sama-sama percaya kepada Yesus Kristus dan berbagi ajaran yang serupa dari Alkitab. Banyak negara di dunia mencantumkan keduanya sebagai satu agama, “Kristen,” dalam administrasi pemerintah.
  2. Penyederhanaan Administratif: Penggabungan kategori ini mungkin bisa mengurangi kerumitan dalam pendataan administratif dan mendukung keharmonisan di antara umat Kristiani tanpa ada kesan perbedaan.
  3. Penguatan Identitas sebagai Umat Kristiani: Dengan menyatukan keduanya di bawah satu payung “Kristen” dalam KTP, bisa muncul rasa kesatuan yang lebih kuat dalam masyarakat Kristen Indonesia, menekankan persamaan keyakinan daripada perbedaan.

Alasan untuk tetap memisahkan:

  1. Perbedaan dalam Praktik Ibadah dan Struktur Gereja: Gereja Katolik memiliki kepemimpinan terpusat pada Paus di Vatikan dan tradisi liturgi yang khas, sedangkan gereja-gereja Protestan lebih independen dengan variasi doktrin yang signifikan. Penggabungan administrasi dapat menimbulkan kebingungan dalam identitas keagamaan umat sendiri.
  2. Penghormatan pada Keberagaman di Dalam Kekristenan: Mempertahankan pemisahan di KTP dapat menjadi wujud pengakuan terhadap keberagaman Kristen di Indonesia, yang merangkul keragaman di dalam agama itu sendiri.
  3. Pentingnya Identitas Bagi Beberapa Umat: Bagi beberapa orang, identitas sebagai Katolik atau Protestan adalah bagian penting dari kepercayaan dan praktik agama mereka. Penyatuan bisa memunculkan kekhawatiran tentang kehilangan ciri khas dan pengakuan terhadap perbedaan tersebut.

Jika suatu saat penggabungan dipertimbangkan, pendekatan yang paling bijaksana adalah melibatkan komunitas Kristen dan Katolik di Indonesia dalam diskusi, memastikan bahwa pandangan semua pihak didengarkan. Pendekatan inklusif akan lebih mencerminkan semangat keberagaman yang ada di Indonesia.

Referensi:

https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Sejarah_Kekristenan

https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Sejarah_Gereja_Katolik

https://www.katolisitas.org/sejak-kapan-gereja-disebut-gereja-katolik/

https://www.kompas.com/stori/read/2022/12/22/120000979/sejarah-agama-kristen

https://www.familysearch.org/en/wiki/Netherlands_Church_History

https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/10/130000579/zending-upaya-belanda-menyebarkan-protestan-di-indonesia?page=all