Penulis: Sayyid Salim A Vad’aq
(Ketua Duta Moderasi Beragama UIN Antasari Banjarmasin)
Badamai – Indonesia merupakan negara yang sangat diverse (majemuk), bahkan masalah keyakinan semua ada di Indonesia baik keyakinan yang officially diakui di Indonesia seperti Islam, Kekristenan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maupun belum diakui seperti penghayat kepercayaan, Kaharingan, Parmalim, hingga komunitas Yahudi yang ada di Sulawesi Utara.
Keunikan Indonesia adalah sekalipun banyak keyakinan dan agama, namun bisa saling menghargai, menghormati, bahkan saling berempati. Sebuah status quo ini dapat dibuktikan saat para founding father beraliran Islamis rela meminggirkan kepentingannya untuk mendirikan negara Islam saat perumusan landasan negara Indonesia. Hal kontras akan nampak saat berkaca dengan negara-negara balkan ataupun negara Timur-Tengah yang cenderung homogen serta rentan retak karena adanya perbedaan, termasuk adanya perbedaan agama.
Perekat itu adalah Pancasila dan Bineka Tunggal ika. Spesifiknya, para pendiri bangsa meletakkan sila I sebagai causa materialis (sebab yang berupa bahan) dengan menyandarkan nilai ke-Tuhan-an sebagai hulu dalam berkehidupan bernegara (Kaelan, 2018). Bahkan, pada declaration of Human Right artikel 18 disebutkan:
“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”
(Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berpindah agama atau kepercayaannya, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan di muka umum atau pribadi, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, pengamalan, ibadah dan ketaatan.)
Secara formil, pada pasal 28E dan 29 UUD 1945 menjamin bagaimana rakyat Indonesia yang berke-Tuhan-an untuk beribadah dan mengekspresikan kehidupan bergamanya yang sesuai dengan tuntunan agamanya. Sehingga, sudah selayaknya negara wajib membangun dan menjamin tiap praktik keyakinan beragama karena menjamin kehidupan bergaa
Namun, hal yang aneh adanya dugaan aturan secara formil yang mendiskriminasikan pemakai jilbab untuk para petugas Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) untuk pengibaran tanggal 17 Agustus tahun ini. Aturan ini tertuang pada surat keputusan kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) No. 5 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Tampak pada artikel No. 10 surat edaran BPIP tersebut tidak memuat ketentuan dan arahan bagi para pengguna Jilbab, termasuk contoh maupun ilustrasi gambar panduan berpakaian bagi yang berjilbab. Dugaan adanya diskriminasi ini diperkuat dengan tidak adanya personil Paskibraka yang mengenakan Jilbab. Meskipun demikian, BPIP berargumen bahwa tidak ada paksaaan bagi personil Paskibraka untuk melepas hijab karena telah bertandatangan pada kesepakatan bermaterai.
Menurut penulis, justru disinilah letak diskriminasi BPIP pada pengibaran tahun ini, bahkan telah nampak secara formil. Dengan tidak adanya panduan bagi para paskibraka yang berjilbab serta disodorkannya nota kesepakatan untuk tidak berhijab saat bertugas nanti, artinya BPIP sedari awal menganulir personil yang berjilbab serta menghendaki bagi yang berjilbab untuk menanggalkan jilbabnya.
Alasan yang dikemukakan BPIP adalah demi menjaga keseragaman dan nilai kebinekaan. Maka dengan menggunakan penafsiran contrario, penulis mempertanyakan apakah menurut BPIP, jilbab merupakan sebuah indikator seseorang tidak mau berbineka dan tidak ingin menyeragamnkan diri? Apakah makna “seragam” adalah dengan menanggalkan atribut keagamaan yang ia yakini sebagai wujud bakti kepada agama? Bukankah Pancasila justru meletakkan nilai “Ketuhanan” di sila pertama sebagai Causa Materialias? Ini karena Pancasila merupakan Philosophische Grondslag yang bermakna Pancasila bukan hanya sebagai nilai konsensus bangsa Indonesia, melainkan sebuah basis filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apa arti ber-Tuhan itu sendiri? Meminjam konsep bung Karno pada pidato 1 Juli 1945
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk nabi Muhammad Saw; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.” Sehingga bung Karno sendiri menghendaki, ketika seseorang menjalani nilai-nilai keagamaan yang dianutnya, maka secara tidak langsung ia telah berbakti kepada negara.
Justru Penulis menilai telah terjadi “kemunduran” berpikir dari petinggi BPIP. Bukankah aturan larangan jilbab pernah dilarang saat orde baru? Justru semangat reformasi menghendaki warga negara untuk bisa lebih bebas dan ekspresif membentuk masyarakat Indonesia yang madani, dimana kehidupan beragama dan bernegara hidup harmoni. Nilai-nilai toleransi dan jaminan atas berkeyakinan pada UUD 1945 pasal 29 (1) harus dijamin dengan garansi tinggi! Bukan justru melimitasi ekpresi keagamaan yang sebenarnya tidaklah substansial pada kehidupan masyarakat seperti polemik larangan cadar pada 2018 silam, pernyataan “musuh besar Pancasila ya agama”, maupun tidak dikehendakinya jilbab pada personil Paskibraka Putri pada Tahun ini.
Ironinya, “kekonyolan” ini muncul dari ketua dari sebuah Badan Negara yang menggali dan membumikan nilai Pancasila sebagai Philosophische Grondslag von Indonesien (Basis Filosofi dari bangsa Indonesia). Penulis menilai inilah yang membedakan Indonesia dari negara lain. Indonesia disatu sisi tidak berlandaskan pada agama tertentu pada sistem ketatanegaraannya, akan tetapi disaat yang bersamaan Indonesia tidak mendeklarasikan dirinya sebagai negara sekuler sepenuhnya. Indonesia tetap mengakomodasi instrumen dan hukum keyakinan yang ada di Indonesia melalui hukum normatif dan formil seperti adanya Kompilasi Hukum Islam, Peradilan Agama, maupun seperangkat hukum akan jaminan agama selain Islam untuk berekspresi selama semua manusia berketuhanan hidup dengan nilai toleransi dan nilai madani
Akhir kata, penulis menyayangkan aturan BPIP tersebut karena tidak sesuai dengan semangat Pancasila itu sendiri. Penulis rasa, segenap elemen rakyat Indonesia akan merasa sen rd ang apabila aturan tersebut direvisi dan tidak ada aturan semacam itu lagi kedepannya.