ARINA.ID – Pada era ketika filsafat Barat mulai memikat perhatian di Indonesia, Fuad Hassan berhasil menghadirkan buku pengantar yang bermutu. Orang-orang yang membaca buku bertema filsafat ini kemudian melanjutkan ke literatur-literatur utama dalam berbagai bahasa. Fuad Hassan dikenang sebagai penulis dan intelektual yang mengabdi di Universitas Indonesia. Ia rajin menulis di berbagai majalah, menunjukkan hasrat mendalam pada ilmu dan seni. Pergaulannya dengan kaum intelektual dan seniman turut memotivasi pembuatan buku-buku dengan berbagai tema. Namun, pada suatu masa, ia justru bimbang dalam keputusannya menulis buku.
Pengakuan Fuad Hassan dan Renungannya
“Cukup lama keraguan meliputi pikiran dan perasaan saya terkait penulisan naskah ini. Sungguh tidak terduga betapa sulitnya untuk memastikan perlu-tidaknya menuliskan pengalaman dan kesaksian perjalanan ibadah haji agar terbaca oleh khalayak ramai. Sekurang-kurangnya keraguan ini meliputi diri saya sebagai seorang yang sangat menyadari betapa jauhnya diri dari pengetahuan tentang agama dan betapa masih belum cukupnya hidup diresapi oleh amal-ibadah yang memadai.”
Meski begitu, Fuad Hassan tetap menulis dan menerbitkan buku berjudul Pengalaman Seorang Haji: Perlawatan ke Haramain (1975). Buku sederhana ini mengesankan pembaca dengan kedalaman intelektual si penulis. Pembaca akan sering menemukan nama-nama filsuf atau intelektual Barat daripada ulama Islam. Di halaman awal, Fuad Hassan mengutip pemikiran eksistensialisme dari Kierkegaard. Renungan filosofis mengiringi keputusan Fuad Hassan dan istrinya berangkat ke Tanah Suci.
Fuad Hassan Mengisahkan:
“Sudah lama saya tidak membolak-balik buku-buku agama. Saya pun sangat sadar betapa terlantar pengetahuan saya tentang agama, yang sejak kecil diresapkan ke dalam jiwa oleh orang tua dan lingkungan sekitar. Baru saya sadari betapa untuk waktu yang lama sekali saya telah mabuk ilmu pengetahuan duniawi ini, sejak menjadi mahasiswa sampai mengasuh mahasiswa sebagai guru besar. Melihat ke masa lalu, saya sadar sekali, betapa banyak waktu dan tenaga yang saya curahkan untuk menumpuk ilmu pengetahuan duniawi ini, dan betapa sedikit perhatian untuk menimba pengetahuan tentang agama Islam yang saya yakini.”
Renungan-renungan ini berlatar tahun 1970-an, ketika Indonesia semakin meriah dengan pemikiran Barat. Pendidikan maju meski terpusat di kota-kota besar. Pemerintah sedang gencar-gencarnya mewujudkan pembangunan nasional dan demokrasi. Fuad Hassan sadar akan pergolakan pemikiran di kalangan intelektual Islam.
Agama menjadi masalah ketika ide-ide baru berkembang. Banyak tokoh mampu menanggapi pemikiran Barat sambil memajukan pengetahuan Islam. Pada tahun 1970-an, Fuad Hassan belum tampil sebagai juru bicara intelektual dan keislaman. Penerbitan buku Pengalaman Seorang Haji menempatkan Fuad Hassan dalam kesadaran Islam dan pengetahuan modern. Selama perjalanan dari Madinah ke Mekah, ia menilai dan membuka ingatan masa kecil membaca novel Karl May dan Honore de Balzac.
Ia berbagi cerita:
“Inilah padang pasir, inilah sahara. Ia punya corak yang khas. Tidak bisa dikatakan indah seperti alam kita yang hijau dan manis oleh liku-likunya sungai serta selingan bukit dan gunung. Dalam ukuran ini, sahara kehilangan artinya sebagai keindahan alam. Namun, tidak bisa disangkal bahwa alam ini tampil dengan wibawa yang disertai oleh kehebatan. Manusia merasa kecil di tengah-tengahnya. Di tengah padang pasir yang seolah-olah tanpa batas ini, manusia pun merasa dirinya hanya sebuah butir.”
Saat berada di Mekah, di depan Kabah, Fuad Hassan sadar belum serius dalam ibadah. Ia terus tergoda oleh renungan-renungan intelektual. “Saya belum cukup khusyuk menjalankan thawaf dan sa’i pada pertama kalinya,” pengakuan Fuad Hassan. Ia masih ingin membuat renungan filosofis. Ia hadir sebagai hamba atau tamu Allah, namun kesibukan ilmiah di tanah air tetap mempengaruhi. Ia menjelaskan:
“Kabah ini sekadar suatu pertanda, bukan sesuatu yang harus disembah. Bangunan itu hanyalah pertanda kiblat. Namun, dibalik bentuknya yang sederhana itu tersimpan suatu sejarah…. Bangunan sederhana sehingga tidak menonjolkan aspek-aspek arsitektur yang menarik perhatian. Ia sekadar sebuah kubus terbuat dari batu dan diselubungi kiswah hitam.”
Ia “terlena” dalam renungan. Pada masa berbeda, intelektual Indonesia lain juga berangkat ke Tanah Suci. Pulang dari sana, ia menulis buku kecil berjudul Tamu Allah (1996).
Pengalaman dan Renungan Mohamad Sobary
Publik sering membaca esai-esai buatan Mohamad Sobary di puluhan koran dan majalah. Ia juga menggubah cerita anak-anak. Sebagai intelektual dengan citarasa kultural, ia memahami pemikiran Barat namun sering mengajukan tafsir-tafsir “dakwah” kultural. Ia meragukan diri, berbeda dari Fuad Hassan. Renungannya tidak melibatkan literatur filsafat atau kesusastraan dunia. Mohamad Sobary berulang kali meragukan diri. Ia menceritakan:
“Sebelumnya sering saya menjadi tamu sebuah seminar meskipun tak diundang. Menjadi tamu gelap, sekadar ingin mendengarkan para bintang, para tokoh masyarakat, berbicara. Tapi di sini tak mungkin. Tuan rumah Maha Tahu. Tak mungkin ada tamu gelap. Bagaimana cara meyakinkan diri bahwa saya juga tamu-Nya? Bagaimana bisa tahu bahwa saya pun diundang? Sukar sekali.”
Sejak dari Indonesia hingga di Tanah Suci, ia terus meragukan diri tentang kepantasan sebagai tamu Allah. Di Indonesia, Mohamad Sobary dikenal dengan tulisan-tulisan lucunya.
Dalam buku Tamu Allah, ia kadang cengengesan tapi lugu dalam renungan. Tiba di Mekah, ia memiliki pengalaman dan membuat penilaian:
“Terus terang, beberapa hari sebelumnya saya khawatir, jika memakai pakaian ihram bisa masuk angin… Lama-lama, dalam pakaian ihram itu malah terasa enak. Dalam tutupan kain putih yang sekadar diserempangkan itu, saya merasa hidup tanpa beban. Dompet tidak ikut. Duit tidak perlu. Barang-barang dunia lainnya tidak memberati, tak membebani. Hidup terasa lepas, los, tanpa gandulan apapun.”
Ia mirip Fuad Hassan. Renungan-renungan khas intelektual tercipta selama berada di Tanah Suci. Ia menunaikan ibadah tapi tetap tampil sebagai intelektual, tidak cukup mengalami peristiwa. Renungan lagi:
“Bila menghadap kepala negara – presiden, raja, perdana menteri – pakaian paling sopan dan lengkap ialah jas. Menghadap Allah malah cukup selembar kain putih. Tanpa embel-embel lain.”
Ia perlahan mengerti kehadiran di Tanah Suci sebagai tamu Allah. Begitu.
Editor:
ARINA – Muhammad Zunus
Tim Redaksi BADAMAI – Gusriawan S Wahid