Oleh: Gusriawan S Wahid
Banjarmasin – “It Wasn’t Show, It’s Propaganda,” begitulah tanggapan yang muncul saat menyoroti opening ceremony Olimpiade Paris pekan lalu.
Opening ceremony untuk ajang sekelas Olimpiade selalu menarik perhatian dunia. Maka tak heran jika setiap acara pembukaan Olimpiade selalu meninggalkan kesan, termasuk Olimpiade Paris 2024.
Dengan tajuk “Games Wide Open,” untuk pertama kalinya, opening ceremony dilakukan di luar stadion. Pembukaan Olimpiade Paris 2024 berlangsung di Sungai Seine, yang menjadi simbol negara Prancis dan juga yang menjadikannya alasan untuk pemilihan lokasi tersebut.
Namun, Paris tak pernah lepas dari kontroversi. Tema modern dan iklusivitas yang kerap diusung, meskipun bertujuan mencerminkan kemajuan sosial, menuai kritik. Salah satu aspek yang paling menuai kontroversi adalah bagaimana acara tersebut dianggap merendahkan dan menistakan salah satu agama.
Parodi The Last Supper
Diantara beragam pertunujukan yang ditampilkan, salah satu yang paling menuai kritik adalah pertunjukan yang banyak pihak menilainya sebagai parodi dari The Last Supper oleh sekelompok Drag Queen. Mereka memperagakan momen perjamuan terakhir yang sangat sakral bagi umat Kristiani. The Last Supper banyak diabadikan ceritanya pada lukisan, salah satu yang terkenal ialah karya Da Vinci yang menggambarkan Yesus bersama ke 12 muridnya tengah menyantap makanan bersama pada sebuah meja panjang.
Pada opening olimpiade Paris Terlihat seorang Drag Queen mengenakan mahkota atau hollow yang seakan menjadikannya representasi dari sosok Yesus tengah duduk bersama para pemain yang seakan menjadi representasi dari murid-murid Yesus dengan dihadapan mereka satu buah meja panjang dengan beragam hidangan.
pertunjukan tersebut diselenggarakan Debilly Bridge dengan menampilkan DJ dan produser Barbara Butch, yang merupakan seorang ikon LGBTQ+ dan ditemani beberapa penari queer
Kemudian, penampilan tersebut dilengkapi oleh seorang penyanyi dengan tubuh bercat biru dan nyaris tanpa busana di tengah-tengah keranjang buah.
Kritik Dunia
Pasca penampilan tersebut, kritik bermunculan hingga Elon Musk juga turut mengomentari bahwa penampilan tersebut menunjukkan ketidak hormatan pada umat Kristiani.
“Ini sangat tidak menghormati orang Kristen,” tulis Elon Musk via akun X miliknya.
Selain dia, tokoh sayap kanan Prancis sekaligus anggota parlemen Eropa, Marion Maréchal juga turut berkomentar.
“Kepada seluruh umat Kristiani di dunia yang menyaksikan upacara #Paris2024 dan merasa terhina oleh parodi ratu drag queen tentang Perjamuan Terakhir ini, ketahuilah bahwa yang berbicara bukanlah Prancis, melainkan minoritas sayap kiri yang siap untuk melakukan provokasi apa pun. #notinmyname,” tulis Marion melalui X.
Standar Ganda dan Dalih Kebebasan Berekpresi
Sebenarnya bukan kali pertama bagi Prancis menunjukkan “Penyimpangan Ekspresi” terhadap suatu keyakinan maupaun kepercayaan Agama.
Masih melekat di ingatan kita bagaimana Prancis menerbitkan gambaran karikatur Nabi Muhammad pada majalah publik Prancis.Banyak pihak menganggap apa yang dilakukan oleh Prancis selama ini dengan dalih kebebasan pendapat merupakan standar ganda.
Pada masa olimpiade saja, Prancis sebelumnya melarang seorang peselancar Brazil, João Chianca terkait penggunaan papan selancar yang memuat gambar Yesus. Tapi, apa yang ditampilkan oleh Paris justru lebih dari itu.
Woke Agenda yang coba ditampilkan pada pagelaran sekelas olimpiade seakan tindak lawak yang mencoreng nama olimpiade yang erat kaitannya dengan olahraga yang bisa dipastikan audience atau penikmatnya berasal dari beragam kalangan mulai orang dewasa hingga anak kecil sekalipun. Propaganda yang dinilai sebagai kebebasan berekspresi itu lebih menampilkan ketelanjangan yang sepatutnya tidak layak untuk disaksikan oleh khalayak umum. Alih-alih menampilkan kebudayaan atau tradisi yang ada di Prancis, justru memilih hal-hal yang tidak ada konteksnya dengan semangat olimpiade itu sendiri.