Menanamlah Sebelum Ditanam: Implementasi Sikap Moderasi Beragama dalam Pelestarian Lingkungan

Oleh: Gusriawan Sholehudin Wahid

Pembahasan perihal isu lingkungan pada beberapa kesempatan seringkali dianggap sebagai bagian terpisah dari pengajaran agama. Pengamalan ajaran agama banyak dipahami secara terbatas, yakni hanya berkutat pada hubungan pola vertikal antara seorang hamba dan sang maha pencipta. Padahal, aspek horizontal tentang interaksi orang yang beragama dengan sesama makhluk ciptaan tuhan yang maha esa dilupakan. Oleh karena itu, ketika terjadi kerusakan alam yang menimbulkan bencana alam, kebanyakan dari kita secara serampangan menerjemahkannya sebagai azab atau ujian atas kurangnya ketaatan kita kepada sang pencipta tanpa mengintropeksi perilaku keseharian kita yang enggan dan abai untuk melestarikan lingkungan, yang perilaku tersebut justru menjadi perantara sebab terjadinya bencana alam tersebut

Lantas bagaimanakah sebenarnya pandangan agama terkait melestarikan lingkungan?, serta bagaimana juga pola pengamalannya dalam pengamalan prinsip-prinsip ajaran agama?

Agama dan Kesadaran Lingkungan

Agama-agama yang ada di dunia, termasuk Islam, menanamkan nilai-nilai moral yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan. Tuhan sebagai sang pencipta sekalian alam yang juga menciptakan manusia senantiasa menerangkan kepada makhluk ciptaannya untuk saling menghirmati dan menjagai ciptaan tuhan selain dirinya. Dalam pemahaman demikian, seharusnya dapat dipahami bahwa sikap seseorang untuk menghormati dan menjagai ciptaan tuhan merupakan salah satu bentuk penghambaan kepada tuhan. Dalam Islam misalnya, secara terang dan jelas dimuat larangan bagi manusia sebagai penduduk bumi untuk tidak ikut serta dalam perbuatan merusak alam, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an dalam Al-A’raf: 56,

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝٥٦

Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.

Mlihat ayat tersebut, Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan bahwa ayat ini mengingatkan manusia untuk tidak merusak bumi yang telah Allah ciptakan dalam harmoni dan kesempurnaan. Segala tindakan yang menghancurkan keseimbangan alam, seperti penebangan liar, peperangan, atau pencemaran lingkungan, termasuk dalam larangan ini.

Baca Juga  Menteri Agama Dapat Kecaman Warganet! Inilah Alasan di Balik Kontroversi Kunjungan Duta Besar AS ke Istiqlal

Sekalian alam raya yang kita tempati dan nikmati sekarang, diciptakan oleh Allah Swt dengan rasa rahmat (kasih sayang), maka sungguh amat tak layak apabila seorang manusia justru melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan kasih sayang kepada alam yang diciptakan oleh tuhan.

Sang Khalifah

Dalam ajaran agama Islam, terdapat konsep khalifah fil ardh (pemimpin di bumi) yang merujuk pada salah satu firman Allah Swt ketika para malaikat dipertanyakan mengenai penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”

Konsep ini menegaskan bahwa manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara, mengelola, dan menjaga bumi sesuai dengan kehendak Allah, serta menghindari segala bentuk kerusakan dan kezaliman terhadap lingkungan maupun sesama makhluk.

Konsep khalifah fil ardh dalam Islam mengajarkan bahwa manusia bukanlah penguasa yang memiliki hak absolut atas alam, melainkan pemimpin atau pengelola yang harus menjaga keseimbangan bumi. Konsep ini menegaskan bahwa manusia diamanahkan oleh Allah untuk mengelola dan merawat alam dengan penuh tanggung jawab. Hal ini menjadi dasar bagi pemahaman bahwa tindakan yang merusak alam tidak hanya bertentangan dengan hukum agama, tetapi juga dengan peran yang diberikan oleh Tuhan.

Salah satu peran penting dalam menjaga keseimbangan alam adalah dengan menghindari segala bentuk kerusakan dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Dalam praktiknya, ajaran ini mengarah pada pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana, berkelanjutan, dan tidak berlebihan. Misalnya, dalam hal pemanfaatan sumber daya alam seperti air, hutan, dan tanah, Islam mengajarkan pentingnya efisiensi dan keberlanjutan untuk kebutuhan umat manusia tanpa merusak kelestariannya.

Baca Juga  Kisah Nabi Ibrahim Dan Tamu Majusi

Islam juga mendorong umatnya untuk menanamkan kesadaran ekologis dalam setiap aspek kehidupan. Ajaran mengenai larangan berbuat kerusakan di bumi tidak hanya terbatas pada aktivitas industri besar, tetapi juga mencakup tindakan sehari-hari, seperti pemborosan air, pencemaran udara, dan pembuangan sampah sembarangan. Semua tindakan yang dapat merusak keseimbangan alam dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Dalam hal pelestarian alam, Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya adalah amanah dari Allah yang harus dipelihara dan dijaga. Setiap individu diberikan tanggung jawab untuk merawat dan menjaga lingkungan hidup agar tetap seimbang dan lestari. Oleh karena itu, menjaga kebersihan, mengurangi pencemaran, dan melestarikan keanekaragaman hayati menjadi bagian dari kewajiban moral yang harus dilakukan oleh setiap Muslim.

Sikap Moderasi Beragama: Pendekatan untuk Pelestarian Lingkungan

Dalam artikel yang ditulis oleh Sapranada (2024), menyatakan bahwa secara umum, masyarakat yang mempelajari ekologi memahami bahwa lingkungan mencakup segala sesuatu di luar makhluk hidup, baik benda mati maupun benda hidup. Namun, ada dua kelompok dalam memahami lingkungan ini. Kelompok pertama, masyarakat ekologi teoritis, melihat lingkungan sebagai seluruh biosfer di luar makhluk hidup. Sementara itu, kelompok kedua, masyarakat pengelola lingkungan, lebih fokus pada aspek praktis dan sering mempersempit pengertian lingkungan hanya pada lingkungan hidup manusia, atau ekologi manusia, bukan mencakup seluruh ekosistem secara luas.

Dalam pendefinisian tersebut, manusia terkadang abai terhadap unsur apa yang akan diterima atau dampak yang terjadi pada alam. Dengan kata lain, fokus utama dalam kajian masalah lingkungan sering kali didasarkan pada keuntungan bagi kepentingan manusia, bukan pada manfaat bagi lingkungan itu sendiri. Akibatnya, masalah lingkungan yang tidak memberikan keuntungan langsung bagi manusia cenderung diabaikan atau dianggap tidak penting. Oleh karena itu, ekologi yang berlandaskan antroposentrisme bersifat arogan, bukan ekologi yang bijak, menyeluruh, dan berorientasi pada keberlangsungan semua makhluk. Dampaknya adalah kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Baca Juga  Untukmu Agamamu, Takjilmu Takjilku

Pendekatan moderasi beragama dapat menjadi jembatan penting untuk membantu masyarakat menyadari identitas mereka sebagai umat beragama yang mampu menerapkan ajaran-ajaran suci, termasuk dalam konteks menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat Indonesia perlu memperkuat tekad untuk melindungi lingkungan dan alam yang dimiliki. Saat ini, kondisi lingkungan di Indonesia menghadapi tantangan serius. Berbagai masalah seperti kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hukum, hingga eksploitasi sumber daya alam terus menjadi persoalan yang belum terselesaikan.

Melalui penerapan nilai-nilai moderasi beragama, sikap peduli terhadap lingkungan dapat terus berkembang. Setiap agama memiliki pandangan unik yang mendorong tanggung jawab manusia terhadap lingkungan. Lingkungan adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bukan sekadar hasil dari proses evolusi materialistis. Dalam setiap agama, hubungan antara Tuhan dan lingkungan sangat erat; Tuhan adalah pencipta sekaligus pemelihara utama alam semesta.

Sebagai makhluk yang memiliki dimensi biologis, rasional, moral, dan spiritual, manusia tidak ditempatkan sebagai penguasa absolut atas lingkungan, tetapi sebagai bagian integral dari ekosistem. Keunggulan yang dimiliki manusia dibanding komponen ekosistem lainnya justru membawa tanggung jawab besar untuk menjaga, melestarikan, dan mengelola lingkungan dengan bijaksana.

Kesimpulan:

Agama menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan. Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh menegaskan bahwa manusia diberi tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, bukan merusaknya. Namun, kerusakan lingkungan kerap kali disebabkan oleh pendekatan antroposentrisme yang mengutamakan keuntungan manusia tanpa memperhatikan dampaknya terhadap ekosistem. Oleh karena itu, penerapan moderasi beragama menjadi solusi strategis untuk membangun kesadaran kolektif dalam menjaga kelestarian lingkungan sebagai amanah Ilahi. Pendekatan ini tidak hanya menumbuhkan kesadaran ekologis, tetapi juga memperkuat komitmen untuk melindungi bumi sebagai tempat tinggal bersama yang seimbang dan berkelanjutan.