Moderasi dan Toleransi dalam Islam: Sebuah Tafsir atas Makna Tawasuth dan Tasamuh

Oleh: Izhar Muttakin

Dalam dinamika kehidupan yang terus berubah, moderasi dan toleransi menjadi nilai-nilai mendasar yang perlu dijadikan panduan. Moderasi, yang bermakna keseimbangan atau jalan tengah, mengajarkan kita untuk menghindari sikap ekstrem, baik berlebihan maupun meremehkan. Konsep ini tidak hanya menjadi ajaran agama, tetapi juga tuntunan universal yang mencerminkan kebijaksanaan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Islam, melalui ajarannya tentang ummatan wasathan atau umat yang moderat, menegaskan pentingnya menjaga harmoni antara akidah, amal, dan hubungan sosial. Moderasi adalah upaya aktif untuk menciptakan keseimbangan, seperti yang digambarkan dalam QS. Al-Baqarah:143, yang menyeru umat Islam menjadi teladan dalam kebijaksanaan.

Di sisi lain, toleransi menggarisbawahi penghormatan terhadap keberagaman. Sebagai sikap yang menghargai perbedaan tanpa mengkompromikan prinsip, toleransi menjadi kunci dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Dalam tradisi Islam, toleransi dikenal sebagai tasamuh, yang mencerminkan sikap saling memudahkan dan mengizinkan dalam perbedaan. Nilai-nilai ini termaktub dalam Al-Qur’an, seperti dalam QS. Al-Baqarah:256 dan QS. Ar-Rum:22, yang menegaskan pentingnya menghormati kebebasan beragama dan mengapresiasi keberagaman sebagai tanda kebesaran Allah.

Dengan memahami dan mengamalkan moderasi serta toleransi, kita tidak hanya menjaga keseimbangan dalam kehidupan, tetapi juga memperkokoh fondasi sosial yang mendukung persatuan dan perdamaian. Tulisan ini akan mengupas lebih dalam tentang dua konsep ini, mengaitkannya dengan konteks modern, serta menawarkan refleksi bagaimana nilai-nilai tersebut dapat menjadi solusi atas tantangan keberagaman yang kita hadapi saat ini.

Moderasi dan tawasuth

Moderasi berarti jalan tengah atau keseimbangan anatara dua hal yang berbeda atau berkebalikan, seperti keseimbangan ruh dan jasad, antara dunia dan akhirat, anatara individu dan masyarakat, antara idealitas dan realitas, antara yang baru dan yang lama, antara ilmu dan amal, antara sarana dan tujuan, antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.[1]

Moderasi sering di sejajarkan maknanya dengan tawasuth yang secara terminologis, tawasuth berarti keseimbangan atau jalan tengah yang menghindarkan seseorang dari sikap berlebihan (ifrath) dan meremehkan (tafrith).[2]

Al-Qur’an dalam surah QS. Al-Baqarah ayat 143 telah menerangkan bahwa umat islam harus menjadi umat yang moderat.

…وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْد

“Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143).[3] Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam diciptakan sebagai ummatan wasathan—umat yang moderat—untuk menjadi teladan dalam keseimbangan antara akidah, amal, dan hubungan antarmanusia.

Konsep moderasi yang tercermin dalam ayat ini adalah landasan kuat dalam ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk menjaga keharmonisan tanpa berlebihan atau kekurangan. Kata “ja’ala” dalam Al-Quran yang berarti “menjadikan” menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan sekadar keadaan yang sudah ada sejak awal, melainkan hasil dari upaya manusia. Kita harus secara aktif berusaha untuk mewujudkan dan menjaga nilai-nilai moderasi dalam kehidupan beragama. berbeda makna dengan khalaqa yang artinya menciptakan, yang tanpa usaha apapun dari kita dia langsung jadi. [4]

Baca Juga  Langkah Moderasi: Memahami Paradigma Kearab-Araban dalam Praktik Beragama di Indonesia

Sehingga perlu di garis bawahi pula bahwa moderasi disini yang ditekankan adalah umatnya. Karena agama itu sudah memiliki ajaran untuk moderat dan itulah yang harus di jalankan dan menjadi pegangan umatnya. Semua agama mempunyai ajaran untuk saling mencintai dan mengasihi.

Dalam ayat lain allah SWT. Juga berfirman

…قَالَ اَوْسَطُهُمْ اَلَمْ اَقُلْ لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُوْنَ

“Berkatalah seseorang yang paling bijak di anatara mereka, bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu).” (Qs. al-Qalam: 28).[5] pada ayat ini kita menemui makna baru bahwa washata juga bisa di artikan bijak.

Wasathiyah sering diartikan sebagai pertengahan antara dua ekstrem. Pandangan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, di mana para filsuf berpendapat bahwa kebaikan itu terletak di antara dua keburukan. Misalnya, sifat dermawan berada di antara sifat kikir dan boros.

Namun, para filsuf Muslim modern memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka berpendapat bahwa tidak semua kebaikan memiliki “pertengahan”. Misalnya, keadilan itu sendiri adalah kebaikan tertinggi dan tidak perlu dibandingkan dengan keburukan.

Oleh karena itu, dalam Islam, wasathiyah lebih tepat diartikan sebagai ketepatan atau keseimbangan. Ini berarti kita harus selalu berusaha untuk mengambil tindakan yang paling tepat sesuai dengan situasi dan nilai-nilai Islam.[6]

Maka bisa kita simpulkan bahwa ada persamaan dari segi makna antara moderasi dan tawasuth. Baik moderasi maupun tawasuth menekankan pada pentingnya mencapai keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Keduanya menggarisbawahi pentingnya menghindari sikap ekstrem, baik itu berlebihan (ifrath) maupun kurang (tafrith). Akan tetapi, Moderasi merupakan konsep yang lebih umum dan inklusif, sementara tawasuth lebih spesifik dan terikat pada nilai-nilai agama.

Dengan landasan terjemah ayat di atas dengan beberapa pendapat yang ada, serta perbedaan dan persamaan. Washatiyah memiliki lebih komperhensip dari moderasi. Karena seseorang yang bijak (wasath) lebih unggul dari sekedar netral (moderat). Karena wasatha yang kemudian di tarik artinya menjadi wasith, dia adalah orang yang bijak, bisa menyikapi sesuatu secara tepat dengan mengutamakan kebenaran dan mengambil sikap terhadap hal-hal yang salah dengan asal keadilan.

Toleransi dan Tasammuh

Toleransi adalah landasan penting dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis, terutama di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Sebagai sikap menahan diri, bersikap sabar, dan menghargai perbedaan, toleransi menjadi pilar utama moderasi beragama dan peradaban manusia. Dalam bahasa Latin, tolerare berarti menahan diri.[7] Dalam bahasa Inggris, konsep ini dikenal dengan istilah tolerance atau toleration yaitu kemampuan atau kemauan untuk mentoleransi sesuatu, khususnya keberadaan pendapat atau kepercayaan yang berbeda dari milik Anda sendiri,[8] juga mengacu pada sikap membiarkan, mengakui, dan menghormati perbedaan, baik dalam pendapat, agama, maupun aspek sosial dan politik.[9]

Dalam tradisi Islam, toleransi diterjemahkan dengan istilah tasamuh, yang bermakna saling memudahkan atau saling mengizinkan.[10] Konsep ini mencerminkan semangat penghormatan dan kerja sama di tengah keragaman. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan toleransi sebagai sikap menghargai dan membiarkan pandangan, kepercayaan, atau kebiasaan yang berbeda dari pendirian sendiri. Namun, toleransi tidak berarti membiarkan kemungkaran, melainkan cara bijaksana untuk mengelola perbedaan. [11] Dengan demikian, toleransi bukanlah kompromi terhadap prinsip, melainkan upaya menjaga harmoni sosial melalui penghormatan terhadap hak dan martabat individu.

Baca Juga  Cerita Asian Games IV 1962 Jakarta: ‘Politik Mercusuar’ Sukarno

Meskipun istilah toleransi secara eksplisit tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, nilai-nilai toleransi banyak dibahas, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 256:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Tidak ada paksaan dalam agama. Jalan yang benar itu berbeda dengan jalan yang sesat. Dan barangsiapa yang menolak tuhan-tuhan yang batil dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada suatu pegangan yang teguh yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah:256).[12] Ayat ini menegaskan kebebasan beragama, bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan keyakinannya tanpa paksaan.[13]

Nilai toleransi lainnya ditegaskan dalam Surah Ar-Rum ayat 22:

….وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.( Ar-Rum:22)

Ayat ini mengajarkan bahwa keberagaman adalah tanda kebesaran Allah yang harus dihormati. Perbedaan bahasa, warna kulit, dan budaya merupakan anugerah yang seharusnya memperkaya hubungan antarindividu, bukan menjadi sumber konflik.

Perlu untuk di garis bawahi dan diingat dengan seksama bahwa toleransi memiliki batasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip agama dan juga tidak dalam permasalahan akidah.[14] Dalam konteks beragama, toleransi berarti memberikan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinan dan ritual ibadahnya, serta menjaga kerukunan antarumat beragama demi terciptanya perdamaian.[15]

Pada pengertian toleransi dan tasammuh kita juga bisa melihat bahwa makna tasammuh lebib dari sekedar toleransi meskipun keduanya sangat mirip dan bahkan dalam penerapannya. Toleransi berasal dari kata Latin tolerare, yang berarti “menahan diri.” Dalam bahasa Inggris, toleransi (tolerance) merujuk pada kemampuan atau kemauan untuk menerima perbedaan, terutama dalam opini, keyakinan, atau kebiasaan. Adapun tasammauh sudah pada tataran “saling memudahkan” atau “saling mengizinkan” yang memiliki implikasi lebih dari sekedar menerima. Meski demikian, tentu keduanya adalah hal yang  baik dan memiliki tujuan yang sama, yaitu keharmonisan dan persatuan dalam perbedaan. Dengan demikian, toleransi dan tasammuh tidak hanya merupakan nilai sosial, tetapi juga bagian dari spiritualitas yang mencerminkan pengakuan terhadap kebesaran Allah melalui keberagaman ciptaan-Nya. Toleransi mengajarkan bahwa perbedaan adalah peluang untuk saling belajar, memahami, dan memperkaya peradaban manusia.

Penutup

Moderasi dan toleransi adalah dua pilar penting dalam membangun kehidupan yang harmonis, baik dalam ranah beragama maupun bermasyarakat. Moderasi menekankan keseimbangan dan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan, sementara toleransi mengajarkan penghormatan terhadap keragaman sebagai wujud pengakuan terhadap kebesaran Allah. Kedua nilai ini tidak hanya menjadi landasan spiritual yang kuat, tetapi juga panduan praktis dalam menjaga keharmonisan sosial. Dalam konteks Islam, konsep wasathiyah dan tasamuh menunjukkan bahwa moderasi dan toleransi melampaui sekadar netralitas; keduanya menuntut upaya aktif dalam menjaga nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang.

Baca Juga  Mahasiswa UIN Antasari Terpilih Mewakili Kalsel menjadi Finalis Podcaster Nasional BNPT

Mewujudkan moderasi dan toleransi adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan kesadaran, pendidikan, dan keteladanan. Sebagai umat yang mengemban predikat ummatan wasathan, kita diharapkan menjadi contoh nyata dalam menjaga keseimbangan dan kerukunan di tengah berbagai perbedaan. Dengan memadukan moderasi dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya menciptakan lingkungan yang damai, tetapi juga menjalankan perintah agama untuk menjadi saksi kebaikan bagi semesta. Semoga nilai-nilai ini terus menjadi cahaya yang menuntun langkah kita menuju kehidupan yang lebih baik dan bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hilmi Ridho, ‘Membangun Toleransi Beragama Berlandaskan Konsep Moderasi Dalam Al-Qur’an Dan Pancasila’, An-Natiq Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 1.1 (2020), 75 <https://doi.org/10.33474/an-natiq.v1i1.9069>. Ridho.

[2] M. FARIDAH, ‘IMPLEMENTASI KONSEP AT TAWASSUTH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH SEBAGAI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER (Analisis Khittah Nahdlatul Ulama’1926)’ (Universitas Nahdatul Ulama, 2018).

[3] Al-Qur’an Dan Terjemahannya (jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2019).

[4] Universitas Muhammadiyah Metro, Habib Husein Ja’far Jelaskan Makna Moderasi Beragama Bagi Generasi Muda Di Lampung, 2022 <https://youtu.be/XQKqnEyfedA?si=7gyvvz8uTmL3wTCG>.

[5] Al-Qur’an Dan Terjemahannya.

[6] Gita Wirjawan (Endgame), Prof Quraish Shihab: Benahi Hati, Baca Alam Raya, 2022 <https://youtu.be/rOqrhkdeYuc?si=0oAyXVaYpBtBswMB>.

[7] Al Muhafidz, ‘“Sikap Toleransi Beragama Perspektif Surah Al-Kafirun Mahasiswa Di Kota Langsa’, Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 2022.

[8] A.S. Hornby, ‘Oxford Advanced Learner’s Dictionary’ (Oxford University Press, 2006).

[9] Ahmad Andriansyah, ‘TIGA AGAMA SATU DESA (Studi Tentang Toleransi Umat Beragama Di Desa Kalipang Kecamatan Grogol Kabupaten)’ (SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI, 2014).

[10] Muhammad Ridho Dinata, ‘Konsep Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia’, ESENSIA, XII (2012), 87.

[11] Althaf Husein Muzakky, ‘Potret Moderasi Dan Toleransi Beragama Dalam Tafsir Qs. Al-Kafirun Dan Relevansinya Dalam Konteks Keindonesiaan’, Al-Wasatiyah: Journal of Religious Moderation, 1.1 (2022), 16–35 <https://doi.org/10.30631/jrm.v1i1.4>.

[12] Al-Qur’an Dan Terjemahannya.

[13] Lailatul Mukaromah, ‘The Concept of Tolerance in the Qur’an as A Basis for Strengthening Islamic Education’, At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam, 7.1 (2022), 45–54 <https://doi.org/10.22515/attarbawi.v7i1.4648>.

[14] ‘Ustad Qasim Nursheha Dzulhadi LC MA : Toleransi Islam Ada Batasnya’, Pemerintah Banda Aceh, 2014 <https://bandaacehkota.go.id/berita/4594/ustad-qasim-nursheha-dzulhadi-lc-ma-toleransi-islam-ada-batasnya-2.html#>.

[15] Nur, ‘KONSEP TASAMUH DI INDONESIA PERSPEKTIF M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH (Studi Analisis Penafsiran Surah Al-An’am Ayat 108)’, Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir Dan Pemikiran Islam, 4.1 (2023), 67–80 <https://doi.org/10.58401/takwiluna.v4i1.804>.