Moderasi ala Sekumpul

Penulis : Sayyid Salim A Vad’aq

Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, seorang ulama kenamaan asal Martapura, Kalimantan Selatan dengan nama masyhurnya Guru Ijai atau Guru Sekumpul. Guru atau Kyai yang sangat dikenal dengan sikap humorisnya namun penuh wibawa serta membawa pesan damai sehingga membuat siapapun para pendengar ceramahnya terkesima.

Sekalipun 2 dasawarsa kurang 1 tahun beliau berpulang ke rahmatullah, namun beliau meninggalkan kesan begitu membekas bagi para pecintanya. Berbagai penjuru nusantara bahkan mancanegara tiap peringatan haul kematiannya, selalu berduyung memadati kota Serambi Mekkah di tanah Banjar. Dalam 1 bulan, seluruh tanah Banua akan berlomba mengambil peran dalam memenuhi logistik perayaan haul beliau tanpa diminta oleh kubah Sekumpul. 1 minggu menuju hari H, penginapan penuh bahkan ada yang menawarkan dengan tawaran gratis agar diinapi para peziarah dan jamaah haul. Menjelang 3 hari, posko dan tenda rest area penuh konsumsi didirikan sepanjang laluan arus utama menuju martapura mulai dari Kalteng dan Kaltim, berlalu lalang silih berganti diisi para peziarah dan jamaah yang beristirahat sejenak. Puncaknya dalam 1 hari, Martapura dan Banjarbaru seketika disulap menjadi lautan manusia, aspal pun tertutup dengan hamparan lapik dan sajadah, berharap madad dan anugerah dari Tuhan.

Baca juga artikel menarik lainnya disini

Hal yang sangat menakjubkan dari digelarnya haul sekumpul adalah bukan hanya antusias jamaahnya, melainkan bagaimana sikap moderasi dari panitia maupun relawan serta jamaahnya. Tidak ada sekat antara si kaya dan si miskin, semua duduk bersama diatas lantai dan aspal yang sama tanpa ada perbedaan. Mall yang identik dengan kesenangan dan orang berada, menjadi tempat bernaung para jamaah tanpa memandang status sosial untuk melantunkan maulid dan melangitkan ibadah.

Anggota Organisasi Muhammadiyah yang tida familiar dengan amaliyah NU, bahkan turut memberi fasilitas pada para jamaah berupa konsumsi dan pelataran masjid bahkan turut mengatur lalu lintas. Begitu juga panitia, demi menjaga nilai moderasi, panitia sekumpul selalu meminta para politisi yang berkampanye dengan alat peraga di sekitar Sekumpul agar menurunkan alat peraga selama perayaan haul. Para pejabat tidak diperkenankan untuk memberi sambutan, bahkan Presiden Joko Widodo yang pernah menghadiri perayaan haul juga diperlakukan sama dengan jamaah yang lain.

Moderasi ala sekumpul ini memang diilhami oleh pesan Guru Sekumpul bahwa Sekumpul harus tetap menjadi zona relijius tanpa ada para pihak berkepentingan untuk memanfaatkan momen tahunan ini. Pesan sederhana guru justru menjadi kesadaran kolektif para pihak yang terlibat pada perayaan haul bahkan berjalan secara organik dengan masyarakat sendiri menjadi pengawas bagaimana moderasi ini berjalan.

Lalu penulis sendiri berefleksi terhadap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari politisasi agama, monopoli pemahaman Pancasila dan kebangsaan oleh segelintir pihak untuk mendeskreditkan pihak yang lain terutama untuk memenangkan pertarungan politik, hingga klaim kebenaran atas paham aliran agama dan menimbulkan perilaku takfiri. Semua mengusik kedamaian horizontal masyarakat. Akhirnya, terjadi kecelakaan yang menabrak prinsip moderasi yang tawazun, tawasut, berinisiatif menemukan jalur tengah untuk menuju kemaslahatan.

Terakhir, penulis bertanya dan berandai, andaikata “moderasi ala sekumpul”, ketika haul diterapkan di kehidupan nasional, apakah bisa diwujudkan?
Penulis pribadi berkeyakinan masih bisa, karena moderasi ala sekumpul ini adalah gerakan organik berupa kesadaran kolektif masyarakat dari berbagai penjuru yang bertemu pada melting spot di regional Banua Banjar untuk satu tujuan yaitu meraih keberkahan dan menyenangkan hati pujaan hatinya, guru sekumpul. Sehingga, pada taraf nasional, penulis meyakini perlu adanya sebuah motif dan tujuan bersama dan terpenting adanyan seorang tokoh yang menjadi panutan rakyat Indonesia yang berhasil merangsang kesadaran kolektif rakyat itu sendiri