Indonesia adalah bangsa yang majemuk, kaya akan keberagaman suku, ras, dan agama. Keberagaman ini, di satu sisi, menjadi keunikan dan nilai tersendiri bagi bangsa, namun di sisi lain, dapat memicu potensi konflik, salah satunya adalah konflik agama. Salah satu isu yang sering menjadi sorotan adalah pembangunan rumah ibadah.
Kasus-kasus konflik agama terkait pendirian rumah ibadah di Indonesia tampaknya tidak kunjung usai, dengan berita tentang isu ini muncul setiap tahunnya. Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia tahun 2022 menunjukkan tren pelanggaran yang mengkhawatirkan. Kasus gangguan terhadap tempat ibadah terus mengalami peningkatan signifikan dalam enam tahun terakhir, dan data hingga awal tahun 2024 menunjukkan bahwa masalah ini masih berlangsung.
Pendirian Rumah Ibadah dalam SKB 2 Menteri
Salah satu regulasi kunci dalam pendirian rumah ibadah adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Dalam peraturan ini, pendirian rumah ibadah harus berlandaskan kebutuhan dan komposisi penduduk, yang mencakup persyaratan administratif dan teknis gedung. Beberapa persyaratan khusus termasuk:
- Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat,
- Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa,
- Rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota
Selanjutnya, apabila persyaratan pertama terpenuhi tetapi persyaratan kedua belum, pemerintah daerah wajib memfasilitasi penyediaan lokasi untuk pembangunan rumah ibadah. Permohonan ini diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati/walikota guna memperoleh IMB. Sesuai peraturan, bupati/walikota harus memberikan keputusan dalam waktu paling lama 90 hari setelah permohonan diajukan. Jika ada rumah ibadah yang memiliki IMB tetapi perlu dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang, pemerintah daerah juga akan memfasilitasi lokasi baru. Perselisihan terkait pendirian rumah ibadah hendaknya diselesaikan melalui musyawarah oleh masyarakat setempat. Jika tidak mencapai kesepakatan, bupati/walikota akan menyelesaikannya dengan bantuan kepala kantor departemen agama melalui musyawarah yang adil dan tidak memihak, serta mempertimbangkan pendapat FKUB. Jika perselisihan masih belum teratasi, penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan setempat.”
Komposisi 90/60
Persyaratan dalam SKB 2 Menteri tahun 2006, terutama mengenai keharusan mengumpulkan 90 KTP calon jemaat dan 60 tanda tangan persetujuan masyarakat sekitar, dianggap oleh sebagian pihak sebagai diskriminatif. Laporan penelitian dari The Indonesian Institute menunjukkan bahwa kebijakan ini masih mengandung praktik diskriminatif, meskipun seharusnya bersifat nondiskriminatif sesuai konstitusi. Syarat administratif seperti ini sering menyebabkan konflik dan intimidasi kepada pemerintah daerah.
Mahaarum Kusuma Pertiwi, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dalam wawancaranya bersama The Indonesian Institute menekankan bahwa angka-angka ini tidak mempertimbangkan keberadaan penganut agama minoritas, yang sering kali tidak dapat memenuhi syarat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada cenderung menggeneralisasi dan mengabaikan keragaman karakter masing-masing agama, menciptakan hambatan bagi pendirian rumah ibadah yang seharusnya dijamin oleh hak publik.
Rencana Penghapusan Rekomendasi FKUB
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan penghapusan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai syarat administratif pendirian rumah ibadah. Usulan ini muncul karena rekomendasi FKUB dianggap sebagai hambatan dalam proses perizinan pendirian rumah ibadah.
Usulan ini menimbulkan pro dan kontra. SETARA Institute mengapresiasi langkah progresif ini, berpendapat bahwa penghapusan syarat rekomendasi FKUB lebih sejalan dengan keberagaman identitas agama di Indonesia. Mereka mendorong penyederhanaan proses perizinan dan penghapusan ketentuan diskriminatif lainnya dalam Peraturan Bersama Menteri 2006.
Namun, di sisi lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menolak usulan ini, berargumen bahwa rekomendasi FKUB penting untuk mencegah konflik di masyarakat. Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar-Umat Beragama, KH Yusnar Yusuf, juga menyatakan bahwa rekomendasi FKUB membantu mencegah bentrokan dan meminta agar semua majelis agama dilibatkan dalam setiap perubahan regulasi.
Dari kalangan gereja, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan dukungan terhadap penghapusan rekomendasi FKUB, namun menekankan pentingnya memperhatikan aspek lain dalam proses perizinan.
Keberagaman yang dimiliki Indonesia adalah kekuatan, namun juga tantangan yang memerlukan perhatian serius. Dalam menghadapi isu pendirian rumah ibadah, penting untuk mengedepankan dialog dan saling pengertian antarumat beragama. Penghapusan atau penyesuaian regulasi harus dilakukan dengan bijaksana, mengingat keberagaman yang ada. Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang harmonis, di mana setiap individu memiliki hak untuk beribadah tanpa rasa takut atau diskriminasi.