Oleh: Salim A Vad’aq
Pada tanggal 21 Oktober 2024, Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, membagikan sebuah foto dokumentasi kunjungan diplomatik yang signifikan. Foto tersebut menampilkan Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ibu Linda Thomas-Greenfield, dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ibu Kamala Shirin Lakhdir, di Masjid Istiqlal, Jakarta. Perlu dicatat bahwa Nasaruddin Umar, yang sebelumnya menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, telah ditunjuk oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menduduki posisi Menteri Agama dalam kabinet barunya.
Meskipun demikian, unggahan tersebut mendapat respons beragam dari masyarakat Indonesia di media sosial. Sejumlah komentar kritis dan bahkan bernada negatif ditujukan kepada akun Instagram @nasaruddin_umar terkait unggahan tersebut.
Pada hari yang sama, 21 Oktober 2024, berlangsung seremoni pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru terpilih, bersama dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Acara ini dihadiri oleh berbagai tamu kehormatan dari berbagai negara. Kehadiran Linda Thomas-Greenfield, Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, bersama dengan beberapa pejabat tinggi diplomatik Amerika Serikat lainnya, menjadi sorotan khusus.
Kehadiran delegasi tingkat tinggi ini merupakan fenomena yang cukup istimewa dalam praktik diplomatik. Umumnya, suatu negara cukup mengirimkan duta besar atau menteri luar negeri untuk menghadiri pelantikan presiden negara lain. Namun, pada kesempatan ini, kehadiran Duta Besar AS untuk PBB beserta lima pejabat tinggi lainnya, sebagaimana diumumkan dalam Media Advisory United States, mengindikasikan signifikansi khusus dari acara tersebut. Selain menghadiri pelantikan Prabowo, agenda Greenfield juga mencakup kunjungan ke Kementerian Agama Republik Indonesia, di mana beliau diterima secara langsung oleh Menteri Agama, Nasaruddin Umar.
Meskipun kunjungan ini merupakan bagian dari protokol diplomatik, sebagian masyarakat Indonesia tampaknya kurang menyambut baik kedatangan Linda Greenfield. Hal ini tercermin dari respons negatif yang muncul pada unggahan media sosial Nasaruddin Umar saat menerima Greenfield sebagai tamu negara.
Linda Greenfield: Peran Strategis dalam Kebijakan Luar Negeri AS
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Amerika Serikat, melalui Greenfield, telah menggunakan hak vetonya sebanyak tiga kali terhadap resolusi PBB yang bertujuan untuk mengadakan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Beberapa pengamat menilai bahwa tindakan Amerika Serikat ini menunjukkan inkonsistensi dalam kebijakan luar negerinya. Di satu sisi, negara-negara berkembang didorong untuk menegakkan HAM. Sebagai tambahan, Amerika Serikat bahkan mengajak dunia internasional untuk menjatuhkan sanksi berat kepada Rusia atas invasinya ke Ukraina. Namun di sisi lain, kebijakan terkait Israel tampaknya mendapat perlakuan berbeda dengan penggunaan hak veto Amerika Serikat di PBB.
Greenfield telah menjabat sebagai utusan Amerika Serikat untuk PBB sejak tahun 2021. Sejak penunjukannya oleh Presiden Biden, Greenfield telah berkomitmen untuk menentang tindakan yang dianggap merugikan Israel, termasuk boikot, divestasi, dan sanksi yang diajukan melalui resolusi internasional. Greenfield berpendapat bahwa upaya-upaya untuk melemahkan posisi Israel dapat dikategorikan sebagai tindakan antisemitisme.
Sikap Greenfield terhadap Israel terlihat jelas pada 18 Oktober 2023, ketika PBB mengeluarkan resolusi untuk melakukan gencatan senjata sebagai langkah “humanitarian pause”. Dari 15 anggota dewan, 12 mendukung resolusi yang diajukan oleh Brasil dan telah didiskusikan selama beberapa bulan. Inggris dan Rusia memilih abstain, sementara Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara yang menolak. Penolakan Amerika Serikat ini dianggap sebagai veto, mengingat Amerika Serikat adalah salah satu dari lima negara yang memiliki hak veto di PBB.
“Sebagaimana setiap negara di dunia, Israel memiliki hak yang melekat untuk membela diri, sebagaimana dituangkan pada Artikel 51 Piagam PBB,” ujar Greenfield, sebagaimana dilaporkan oleh timesofisrael.com pada 18 Oktober. Ia menambahkan, “Kami tanpa ragu mengutuk serangan teroris keji Hamas.”
Antisemitisme: Perspektif yang Perlu Ditinjau Kembali?
Secara umum, istilah antisemitisme dikenal sebagai terminologi yang digunakan untuk mengidentifikasi kelompok yang menunjukkan kebencian terhadap entitas bangsa Israel atau Yahudi. Istilah ini mulai populer setelah jurnalis Jerman Wilhelm Marr menerbitkan sebuah tulisan pada tahun 1879 berjudul Der Sieg des Judentums über das Germentum (Kemenangan Yahudi atas Kegermanikan). Meskipun istilah ini menjadi populer pasca abad ke-19, gerakan kebencian dan diskriminasi terhadap etnis Yahudi telah ada sejak abad pertengahan, terutama di kalangan bangsa Romawi dan Eropa.
Namun, penting untuk memahami definisi yang lebih luas dari bangsa Semitik. Menurut tradisi agama-agama Abrahamik, bangsa Semitik mencakup semua keturunan Sem, putra Nuh. Dalam Alkitab, khususnya Kitab Kejadian 10:1-32, dijelaskan silsilah bangsa-bangsa dunia yang berasal dari tiga putra Nuh: Yafet, Sem, dan Ham.
Bangsa Yahudi merupakan salah satu cabang dari keturunan Sem, bersama dengan bangsa-bangsa lain seperti Aram, Elam, Asyur, Arpakhsad, Lud, serta berbagai suku yang mendiami wilayah Hijaz, Nejd, dan Yaman, termasuk Sheba dan Arab.
Dengan demikian, istilah “semitik” tidak dapat secara eksklusif dikaitkan dengan bangsa Yahudi saja, dan “antisemitisme” seharusnya tidak hanya merujuk pada tindakan diskriminasi terhadap bangsa Yahudi. Tindakan persekusi, penjajahan, dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap bangsa Arab atau Kanaan, yang merupakan penduduk asli Palestina modern bahkan sebelum berdirinya negara Israel, juga dapat dikategorikan sebagai sikap antisemitisme.
Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina dan Israel, penggunaan hak veto oleh Greenfield diharapkan dapat dilakukan dengan lebih bijaksana dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat, tidak hanya berfokus pada kepentingan satu pihak. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan istilah antisemitik, yang seharusnya tidak hanya dikaitkan dengan sikap anti-Israel, tetapi juga diterapkan pada mereka yang mengabaikan hak-hak kemanusiaan bangsa Palestina.
Peluang Indonesia sebagai Fasilitator Perdamaian di Era Kepemimpinan Prabowo
Unggahan Nasaruddin Umar di media sosial mengenai penerimaan Linda Thomas-Greenfield di Masjid Istiqlal mendapat berbagai tanggapan dari warganet Indonesia. Sejumlah komentar mengekspresikan kekecewaan, bahkan ada yang memberikan label “liberal” dengan konotasi negatif kepada menteri agama yang baru saja dilantik.
Penting untuk dipahami bahwa kunjungan Linda Greenfield merupakan bagian dari protokol diplomatik yang lazim dilakukan antar negara untuk memelihara hubungan bilateral. Dalam konteks ini, diplomasi dapat didefinisikan sebagai “…penggunaan taktik untuk memperoleh keuntungan strategis atau menemukan solusi yang dapat diterima bersama atas tantangan umum, dengan salah satu alatnya adalah penggunaan pernyataan yang tidak konfrontatif atau sopan“.
Kunjungan kenegaraan merupakan bentuk kesopanan diplomatik dan upaya untuk memastikan hubungan antar negara berjalan dengan baik. Praktik diplomasi semacam ini telah lama menjadi bagian integral dari hubungan internasional, terlepas dari perbedaan pandangan antara kedua negara mengenai isu-isu tertentu, seperti dalam hal ini adalah Israel. Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyambut utusan negara lain sebagai tamu negara.
Perlu digarisbawahi bahwa posisi Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama tidak relevan untuk dijadikan dasar tuduhan kurangnya empati terhadap penderitaan rakyat Palestina hanya karena menerima kunjungan Greenfield. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari protokol diplomatik terkait pelantikan presiden, dan Umar bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat pemerintah, bukan sebagai menteri luar negeri.
Meskipun demikian, sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif dan konsisten memperjuangkan kemerdekaan setiap bangsa, Indonesia tetap perlu mendorong upaya terbaik untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Palestina dan mengakhiri konflik berkepanjangan yang telah menimpa rakyat Palestina.
“Fakta bahwa Indonesia telah mengirimkan pasukan ke UNIFIL bahkan sebelum krisis saat ini dimulai, menunjukkan kesediaan Indonesia untuk berperan aktif. Jadi, menurut saya, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah bagaimana kita dapat bekerja sama dengan Indonesia. Itu memang menjadi tujuan kami untuk menjalin kerja sama,” ujar Linda Greenfield saat menghadiri pelantikan presiden ke-8 Republik Indonesia.
Sebagai negara middle power, Indonesia memiliki peran signifikan dalam upaya menciptakan perdamaian kawasan. Di Asia Tenggara, Indonesia telah berperan aktif dalam berbagai inisiatif perdamaian. Contohnya, keterlibatan Indonesia sebagai anggota Tim Pemantau Internasional (International Monitoring Team, IMT) di Filipina Selatan, kontribusinya dalam memfasilitasi proses perdamaian terkait konflik antara Thailand dan Kamboja pada tahun 1990-an, serta keterlibatannya dalam dialog dengan Myanmar untuk mendukung upaya demokratisasi antara tahun 2011 hingga 2014.
Aktivitas diplomatik ini menjadi fondasi bagi Indonesia dalam membangun reputasinya sebagai peacebuilder dan peacemaker yang berperan dalam upaya menciptakan stabilitas baik di tingkat regional maupun global. Posisi ini memberikan Indonesia peluang lebih besar untuk berperan dalam mempromosikan perdamaian bagi rakyat Palestina dan mendorong negara adidaya seperti Amerika Serikat untuk lebih bijaksana dalam menggunakan hak vetonya demi mendukung perdamaian dunia dan kedaulatan negara Palestina